CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Thursday, June 3, 2010

~ Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan 2/2 ~


Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani

Tanya:
Apakah seseorang yang berpuasa bulan Ramadlan memerlukan niat tiap hari atau tidak?

Jawab:
Setiap orang yang mengetahui bahwa besok Ramadlan dan dia menginginkan puasa maka dia pasti telah berniat, baik dilafalkan atau tidak. Hal ini merupakan perbuatan kebanyakan kaum muslimin.

Tanya:
Apakah seseorang diperbolehkan berbuka puasa dengan semata melihat terbenamnya matahari?

Jawab:
Bila seorang telah melihat hilang seluruh bulatan matahari maka ia harus berbuka tanpa menghiraukan masih ada warna merah yang tampak di ufuk barat. Yaitu ketika seluruh bulatan matahari telah hilang dan langit bagian timur akan tampak hitam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغُرِبَتِ الشَمْسُ مِنْ هَهُنَا فَقَدْ أَفَطَرَ الصَّائِمُ.

Apabila malam telah datang dari sini dan siang telah menghilang dari sini serta matahari telah terbenam dari sini (barat) maka berbukalah orang yang berpuasa. (HR. Bukhari 4/171 dan Muslim no. 1100)

Tanya:
Bolehkah makan sahur setelah adzan subuh pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Bila muadzin adzan sebelum terbit fajar sebagaimana adzan pertama Bilal pada jaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Damaskus, maka seorang boleh makan dan minum beberapa saat setelah adzan itu. Apabila ia ragu apakah sudah terbit fajar atau belum maka hendaknya ia makan dan minum hingga tampak jelas terbit fajar. Walaupun setelah itu ia tahu bahwa makan setelah terbit fajar masih diperselisihkan para ulama tentang wajib qadla` baginya.

Pendapat yang paling benar adalah tidak diwajibkan mengqadla`. Riwayat ini adalah riwayat dari Umar, sekelompok ulama salaf dan khalaf. Sedangkan menurut pendapat ahli fiqih yang empat, wajib qadla` atasnya.

Tanya:
Ada seorang yang pingsan setiap kali berpuasa, pilek dan mulutnya berbuih terus-menerus sampai berhari-hari belum sadar hingga dikira gila dan tidak jelas keadaannya, bagaimana tentang hal ini?

Jawab:
Apabila puasanya menyebabkan ia sakit seperti itu maka hendaknya ia berbuka dan mengqadla`. Bila hal ini terus menimpanya tiap kali ia berpuasa dan dia tidak mampu untuk puasa maka ia harus memberi makan tiap hari seorang miskin.

Tanya:
Seorang perempuan hamil melihat darah serupa haidl dan darah haidl. Para bidan memutuskan ia harus berbuka karena untuk memberi makan janin yang dikandungnya tetapi wanita itu tidak sakit, apakah ia boleh berbuka atau tidak?

Jawab:
Bila wanita hamil itu mengkhawatirkan keadaan janinnya maka ia wajib berbuka dan wajib mengqadla` serta memberi makan tiap hari satu orang miskin 1 liter roti dan lauknya.


****************

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah bin Al-Fauzan (anggota Kibaril Ulama Arab Saudi) dalam kitab Nur 'ala Darbi Fatawa hal. 73-81:

Tanya:
Apakah hukum bersiwak pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Tidak diragukan lagi bahwa siwak merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dianjurkan pelaksanaannya. Banyak keutamaan bersiwak. Bersiwak pernah dilakukan maupun diperintahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bersiwak sangat baik terutama pada tempat-tempat yang dibutuhkan seperti sebelum wudlu, ketika akan shalat, ketika membaca Al-Qur`an, ketika bau mulut mulai berubah, ketika bangun tidur sebagaimana biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Bersiwak disunnahkan pada semua waktu termasuk waktu Ramadlan. Yang benar adalah seseorang disunnahkan bersiwak tiap hari di bulan Ramadlan pada pagi hari dan sore dan tidak benar anggapan bahwa seseorang disunnahkan hanya bersiwak pada sore hari saja. Bahkan para shahabat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersiwak terus menerus sampai tak terhitung jumlahnya dalam keadaan berpuasa. Maka bersiwak itu hukumnya sunnah, boleh dikerjakan oleh yang berpuasa ataupun tidak berpuasa. Akan tetapi dalam hal ini seorang harus berhati-hati ketika menggosok gigi dengan miswak (alat siwak) agar tidak melukai gusi yang dapat mengakibatkan pendarahan.

Tanya:
Apakah seorang yang berpuasa qadla` dan puasa sunnah boleh memutuskan puasanya?

Jawab:
Apabila ia berpuasa qadla` tidak boleh memutuskannya dan wajib menyempurnakannya. Adapun bila ia berpuasa sunnah boleh memutuskan puasanya itu, tidak ada kewajiban menyempurnakan puasa sunnah. Pernah suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah dalam keadaan puasa sunnah lalu menjumpai makanan yang dihadiahkan para shahabat lalu beliau makan (dan memutus puasanya). Hal ini menunjukkan bahwa puasa sunnah tidak wajib disempurnakan.

Tanya:
Apabila seorang berpuasa suatu hari kemudian ia safar pada pertengahan hari apakah ia berbuka pada hari itu?

Jawab:
Bila seseorang berniat puasa dan telah mengerjakannya lalu bepergian pada pertengahan hari maka hendaknya ia berbuka jika jarak perjalanan dari rumah ke tempat tujuan kurang lebih 80 km. Akan tetapi kalau ia mau menyempurnakannya maka lebih afdlal sebab sebagian ulama ada yang mewajibkan menyempurnakan puasa model ini.

Tanya:
Apakah keutamaan hari-hari 10 akhir bulan Ramadlan?

Jawab:
Hari-hari ini memiliki keutamaan yang besar dan agung. Pada hari-hari itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Beliau melakukan i'tikaf pada malam akhir Ramadlan dan tidak keluar dari masjid selain menunaikan hajatnya. Banyak kaum muslimin mengharapkan menjumpai malam lailatul qadar pada 10 hari terakhir bulan mubarak itu.

Tanya:
Apakah keutamaan bersedekah pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Bersedekah pada bulan Ramadlan lebih utama (afdlal) daripada bersedekah pada bulan-bulan lainnya. Pada bulan itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan dan lebih dermawan pada bulan Ramadlan ketika Jibril menemuinya untuk mengajari Al-Qur`an pada setiap malam pada bulan itu. Kedermawanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat itu lebih baik daripada angin sepoi-sepoi (angin yang bertiup terus-menerus dan bermanfaat).[4] (HR. Bukhari dengan 1/30 Fath dan Muslim no. 2307). Dalil ini menunjukkan keutamaan sedekah bulan Ramadlan di mana pada bulan ini banyak orang yang miskin berpuasa. Bila seorang berbuat baik kepada mereka berarti ia membantu ketaatan kepada Allah terhadap mereka. Amal itu dilipatkan pahalanya karena kemuliaan waktu dan tempatnya (berdasarkan nash -pent) sebagaimana amal-amal dilipatkan pahalanya pada dua masjid Mekah dan Madinah (masjid Nabawi) yaitu shalat di dua masjid tersebut berpahala 1000 kali lipat dibanding shalat di tempat lainnya.

Tanya:
Bagaimana keterangan tentang keutamaan lailatul qadr dan ayat-ayat yang menerangkannya!

Jawab:
Allah memuliakan keadaan malam itu dan menamakannya lailatul qadr karena pada malam itu ditentukan ajal, rezki seorang makhluk dan apa-apa yang akan terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Ad-Dukhan: 4). Disebut juga lailatul qadr karena dia adalah malam yang ditentukan dan dimuliakan di sisi-Nya. Juga disebut malam lailatul mubarak (malam yang diberkahi). Allah berfirman: "Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam penuh barakah." (44:33). "Dan tahukah kamu apakah malam lailatul qadr itu. Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan." (Al-Qadr: 2-3). Artinya beramal pada malam yang penuh berkah itu dilipatgandakan pahalanya semisal 1000 bulan beramal pada malam-malam selain bulan ini. Seribu bulan lebih kurang 83 tahun. Ayat ini menunjukkan tentang keutamaannya oleh karena itu beliau selalu menunggu-nunggu datangnya malam itu. Beliau bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ.

Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam lailatul qadr dengan mempercayai adanya malam itu dan mengharap pahalanya maka akan diampuni dosanya yang telah lewat dan yang akan datang. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu).

Hal lain yang juga menunjukkan keutamaan dan kebesarannya ialah pada malam itu turun para malaikat dan Jibril (pemimpin para malaikat) untuk mengatur segala urusan. Malaikat-malaikat Allah tidak turun ke bumi kecuali untuk menyelesaikan urusan besar. Kemudian Allah mensifati malam tersebut dengan malam yang penuh kesejahteraan sampai fajar. Maka barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan pada malam itu, sungguh Allah tidak memberinya kebaikan yang banyak.

Allah dengan hikmah-Nya yang maha luas merahasiakan malam itu pada bulan Ramadlan agar kaum muslimin bersungguh-sungguh mencarinya pada tiap malam. Sehingga mereka mempunyai banyak amal dan terkumpullah amal-amal pada semua malam bulan itu dengan malam lailatul qadr.

Tanya:
Apakah makna ayat "... tetapi janganlah kamu campuri para istri itu sedang kamu beri'tikaf." (Al-Baqarah: 187)

Jawab:
Allah melarang mencampuri istri dalam keadaan i'tikaf di masjid setelah membolehkan mencampurinya pada bulan Ramadlan. Orang-orang yang beri'tikaf tidak boleh mencampuri istri-istrinya, baik dengan jimak maupun mubasyarah[5], baik pada malam atau siang hari jika orang yang beri'tikaf itu tidak berpuasa. Karena makna i'tikaf secara bahasa ialah meninggalkan perkara-perkara yang banyak dan meluangkan waktu untuk beribadah. Apabila seseorang mencampuri istrinya maka batallah i'tikafnya. Demikian pula bila ia keluar masjid tanpa ada kebutuhan mendesak juga membatalkan i'tikaf. Seperti pergi ke pasar dan lainnya.

Ayat di atas menunjukkan bahwa i'tikaf itu harus diadakan di masjid yang dipakai untuk shalat berjama'ah dan memiliki imam rawatib. Tidak boleh i'tikaf menyendiri di mushalla, rumah atau tanah lapang atau masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah. Orang yang beri'tikaf di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama'ah di dalamnya berada di antara dua keadaan yaitu antara i'tikaf dan meninggalkan shalat jama'ah. Bila ia tetap di dalam masjid berarti ia meninggalkan shalat berjama'ah padahal shalat berjama'ah wajib hukumnya. Atau ia keluar dari masjid untuk shalat berjama'ah di masjid yang didirikan shalat jama'ah tiap shalat 5 waktu yang hal ini menghilangkan makna i'tikaf. Maka i'tikaf harus diadakan di masjid-masjid yang didirikan padanya shalat jama'ah karena lafadh ayat menyebutkan fil masajid (di masjid-masjid).

I'tikaf disebutkan pada akhir-akhir ayat puasa i'tikaf seharusnya dan lebih baik dilakukan ketika seorang dalam keadaan berpuasa dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak i'tikaf selain bulan Ramadlan yakni ketika puasa.

Tanya:
Saya seorang pemuda yang pernah tidak melaksanakan puasa tahun yang lalu sedangkan puasa tahun berikutnya saya berpuasa dengan sempurna. Bagaimana saya mengqadla` puasa pada bulan yang aku tinggalkan? Apakah saya harus berpuasa tiap bulan atau memberi makan 60 orang miskin? Aku ingin berpuasa tahun ini selama tiga bulan apakah hal itu dibenarkan? Bagaimana cara melaksanakannya dengan bersambung atau terputus (berselang-seling)?

Jawab:
Jawaban dari pertanyaan anda perlu perincian. Yaitu jika anda meninggalkan puasa itu karena meninggalkan shalat (meninggalkan shalat menurut beliau kafir -pent) maka anda tidak berkewajiban mengqadla` puasa yang telah anda tinggalkan. Karena waktu itu anda belum masuk Islam. Adapun setelah anda bertaubat yakni setelah melaksanakan shalat maka anda wajib mengqadla` puasa dan menunaikan seluruh syi'ar Islam yang diwajibkan. Bila anda menunda mengqadla` puasa tanpa udzur maka anda wajib memberi makan seorang miskin tiap hari sebagai ganti puasa yang anda tunda qadla`nya itu. Apabila anda tunda qadla` puasa karena ada udzur hingga datang Ramadlan berikutnya maka anda wajib mengqadla`nya setelah Ramadlan.

Tanya:
Apa hukum bercelak, memakai parfum bagi seorang muslimah pada bulan Ramadlan?

Jawab:
Adapun celak, obat tetes mata dan apa-apa yang diletakkan di mata bagi orang yang berpuasa terkadang dapat masuk ke tenggorokan sehingga membatalkan puasanya. Sebagian ulama melarang memakai celak bagi orang yang berpuasa atau meletakkan sesuatu pada matanya seperti obat tetes mata, karena hal ini bisa menembus mata hingga ke tenggorokan tanpa disadarinya. Sedangkan harum-haruman, kosmetik yang biasa dipakai wanita tidak membatalkan puasa. Namun bagi muslimah hendaknya memakai harum-haruman atau parfum dan kosmetik di dalam rumah saja dan menjauhi benda-benda itu untuk dipakai di luar rumah. Bahkan ia harus menutup wajahnya bila keluar rumah. Allah berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ.... ﴿الأحزاب: ٣٣﴾

Dan hendaklah kamu (para wanita muslimah) tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan tunaikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 33).

Walaupun wanita itu keluar menuju masjid untuk beribadah tetap dilarang bertabaruj (berhias) dan memakai parfum. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفَلاَتٍ.

Janganlah kamu mencegah wanita-wanita menuju masjid Allah dan hendaklah mereka keluar tanpa berhias dan berharum-haruman. (Mutafaq 'alaihi; lihat Umdatul Ahkam, hadits no. 58, hal. 31)

Syarat mereka boleh keluar menuju masjid adalah tidak berhias dan tidak memakai parfum atau wangi-wangian. Kaum muslimah sekarang banyak melakukan perbuatan melanggar syariat Allah, keluar rumah dengan berhias, membuka aurat dan wajah, memakai parfum dan celak mata yang tidak dilakukannya ketika di dalam rumah (untuk suaminya, pent).

------------------------------------------------------
[1] Yakni kembali pada makna safar secara umum.

[2] Niat mutlak adalah meniatkan berpuasa tanpa menentukan puasa apa yang ia lakukan. Sedangkan niat ta'yin adalah meniatkan dengan detail puasa apa yang ia akan lakukan esok harinya, wajib atau sunnah, puasa ramadlan atau qadla atau nadzar dan lain-lain.

[3] Maksudnya puasa dan berbuka bersama kebanyakan kaum muslimin.

[4] Bahjatun Nadhirin, Syaikh Salim Al-Hilali.

[5] Mubasyarah bermakna dua yaitu mempergauli isteri dengan jimak dan mempergauli isteri tanpa jimak dengan menutupkan kain di atas farjinya yang meskipun suami mengeluarkan mani, tidak membatalkan puasa. Sebagaimana keterangan Aisyah radliyallahu 'anha ketika seorang bertanya tentang mubasyarah:

مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلَّ شَيْئٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ.

"Apa yang boleh dilakukan seorang yang berpuasa terhadap istrinya?" Beliau menjawab: "Semuanya boleh dilakukan selain jimak.(Jimak atau jima' adalah hubungan seks/sex atau bersetubuh/persetubuhan,red)" (HR Abdur Razak dalam bukunya Al-Mushanaf 4/190/8439 dengan sanad shahih)

Akan tetapi hendaknya yang perlu diperhatikan bahwa keluarnya mani (tanpa jimak) tidak membatalkan puasa dan mubasyarah itu perkara lain. Kita tidak menganjurkan orang yang berpuasa Ramadlan ketika syahwat jimak sedang memuncak untuk mubasyarah dengan istrinya. Hal ini dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam larangan (yakni berjimak –pent). Biasanya orang yang mendekati daerah terlarang akan memasukinya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَامَى حَوْلَ الحِمَى أَوْشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ.

Barangsiapa berada di sekitar daerah penjagaan, dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya. (Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani hal. 420).

Wallahu a'lam.

(Dikutip dari Majalah Salafy edisi XXIII/Ramadlan/1418 H/1998 M, penulis Ustadz Ahmad Hamdani, judul asli Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan).
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=758

0 comments: