CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Thursday, June 3, 2010

~ Fatwa Seputar Masalah Puasa dan Ramadlan 1/2 ~


Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani

Kalau jasmani seseorang dapat menjadi kuat disebabkan latihan fisik, maka puasa dapat memperkuat jiwa. Pada diri seseorang yang berpuasa, suplai bahan makanan dan minuman yang merupakan bahan bakar aktifitas kehidupan manusia berkurang sehingga pembuluh-pembuluh darah menyempit. Seiring dengan menyempitnya pembuluh-pembuluh darah itu berarti menyempit pula tempat aliran setan dalam tubuh.

Keadaan seperti ini akan membuat nafsu syahwat terpenjara (dari hubungan sex atau persetubuhan) dan memenangkan anggota badannya dengan cara yang menakjubkan. Inilah hakikat puasa. Dengan demikian puasa adalah perisai dari serangan nafsu syahwat bagi orang-orang yang bertaqwa.

Puasa memiliki dua keutamaan khusus yang tidak ditemukan pada ibadah badan lainnya, yaitu:
1. Puasa merupakan amal tersembunyi. Pada umumnya orang lain tidak mengetahuinya dan kemungkinan besar sedikit tercampur dengan unsur riya’.

2. Puasa sebagai benteng bagi orang-orang yang bertaqwa dari musuh Allah yaitu setan yang jalannya dalam rangka menguasai manusia adalah hawa nafsu syahwat.

Allah berfirman dalam hadits qudsi tentang keutamaan puasa:

اَلصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ. (رواه البخاري ٣/٣، ٩/١٧٥ ومسلم ٣/١٥٧-١٥٨)

Puasa itu untukKu dan Aku yang akan membalasnya. (HR. Bukhari 3/3, 9/175 dan Muslim 157-158)

Sebenarnya cukuplah satu hadits qudsi yang mulia itu menunjukkan keutamaannya.

Akan tetapi orang-orang yang berpuasa itu berbeda dan bertingkat-tingkat dalam hal mendapatkan pahala dan keutamaannya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ. (رواه ابن ماجه ١/٥٣٩ والدارمي ٢/٢١ وأحمد ٢/٤٤٦، ٣٧٣ والبيهقي ٤/٢٧٠ من طرق سعيد المقبري عن أبي هريرة)

Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan dari puasanya selain dari rasa lapar dan dahaga. (HR. Ibnu Majah 1/539, Ad-Darimi 2/21, Ahmad 2/446, 373 dan Al-Baihaqi 4/270 dari jalan Sa'id Al-Muqbiri dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Hal ini terjadi disebabkan orang yang berpuasa tidak mengerti hakikat puasa sehingga tidak melaksanakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya dan puasanya tidak mendatangkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga.

Dalam kaitan ini kami kutipkan fatwa-fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Fauzan yang berhubungan dengan puasa berupa tanya jawab sekitar puasa dan Ramadlan. Semoga bermanfaat.

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Haqiqatus Shiyam hal. 87-100:

Tanya:Beberapa orang melakukan safar (bepergian) pada bulan Ramadlan. Dalam rombongan itu ada yang berbuka dan ada yang berpuasa. Di antara yang berbuka mengejek yang berpuasa dengan alasan bahwa berbuka itu lebih utama. Pertanyaan: Berapakah jarak boleh mengqashar shalat? Apakah bila seseorang safar pada suatu hari boleh berbuka puasa? Apakah perbedaan safar maksiat dan safar ketaatan kepada Allah?

Jawab:Menurut kesepakatan kaum muslimin (ulama) berbuka puasa diperbolehkan bagi musafir jika safar itu bukan dalam rangka bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya seperti haji, jihad, berdagang, dan yang semisalnya. Para ulama masih bersilang pendapat bila safarnya untuk bermaksiat pada Allah seperti safar dengan niat merampok.

Orang yang safar boleh mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut kesepakatan ulama meskipun tidak merasa haus dan lapar, baik tersedia makanan minuman atau tidak. Orang yang mengatakan bahwa orang yang safar tidak boleh berbuka kecuali yang lemah untuk berpuasa, maka orang tersebut diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat, maka dibunuh. Begitu pula orang yang mengingkari orang yang berbuka (ketika safar), maka dia diminta untuk bertaubat dari pendapatnya itu.

Juga orang yang mengatakan bahwa orang yang berbuka (ketika safar) itu berdosa, ia harus bertaubat dari ucapannya itu. Karena semua itu bertentangan dengan Kitabullah, sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam dan ijma' umat.

Menurut pendapat imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad, bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang empat rakaat dan hal ini lebih afdhal.

Para ulama tidak bersilang pendapat dalam hal pembolehan berbuka puasa bagi musafir. Sedangkan yang masih diperselisihkan justru pembolehan berpuasa bagi musafir. Sekelompok ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa orang yang sedang safar harus berbuka, bahkan tidak diperbolehkan berpuasa sehingga meskipun ia berpuasa tetap wajib mengqadlanya. Pendapat ini dipegang oleh Abdurrahman bin 'Auf, Abu Hurairah, dan lain-lain radliyallahu 'anhum. Sebagaimana pula madzhab Dhahiri. Mereka berdalil dengan hadits:

لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ.

Tidak termasuk kebaikan puasa dalam safar (bepergian). (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan madzhab yang empat membolehkan puasa bagi musafir dengan dasar ucapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari Anas radliyallahu 'anhu:

كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِيْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ. (رواه البخاري)

Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.
(HR. Bukhari)

Hal ini karena mereka memahami firman Allah:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. ﴿البقرة: ١٨٥﴾

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan bathil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(Al-Baqarah: 185)

Adapun ukuran safar yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat dan berbuka puasa menurut Imam Ahmad dan Syafi'i adalah jarak perjalanan dua hari dengan kendaraan unta atau jalan kaki sejauh lebih kurang 16 farsakh (satu farsakh lebih kurang 8 km –pent) seperti jarak antara Mekah-Ashfahan atau Mekah-Jedah. Sedangkan Abu Hanifah dan kelompok ulama salaf dan khalaf lainnya menentukan jarak perjalanan 3 hari.

Menurut pendapat yang paling kuat adalah boleh berbuka dan menqashar shalat pada bepergian kurang dari dua hari[1]. Disebutkan dalam hadits bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengqashar shalat ketika di Arafah dan Muzdalifah serta Mina yang diikuti oleh penduduk Mekah dan beliau tidak memerintahkan mereka menyempurnakan shalat mereka.

Tanya:
Apakah seorang safar pada pertengahan hari boleh berbuka?

Jawab:
Ada dua pendapat yang masyhur mengenai masalah ini. Keduanya dari Imam Ahmad. Yang paling benar adalah seseorang diperbolehkan berbuka ketika safar di pertengahan hari (sebelumnya ia berpuasa –pent). Sebagaimana hal ini tertera dalam kitab-kitab Sunan. Para shahabat berbuka bila keluar safar pada pertengahan hari dan disebutkan bahwa yang demikian itu sunnah yang dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berniat puasa waktu safar. Kemudian beliau dijamu dan beliau makan. Para shahabat melihat beliau.

Sedangkan apabila seorang tiba di tempat tujuan pada pertengahan hari, para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan kewajiban berpuasa. Akan tetapi dia wajib mengqadla baik berpuasa atau tidak. Orang yang sering bepergian ke suatu tempat tertentu boleh berbuka seperti pedagang yang pergi ke kota lain, tukang pos yang bepergian untuk kemaslahatan kaum muslimin dan lain-lain. Sedangkan orang yang bepergian jauh dengan naik kapal besar ditemani istrinya, membawa perbekalan lengkap dan dia terus-menerus demikian maka dia tidak boleh mengqashar shalat maupun berbuka puasa.

Orang-orang pedalaman seperti Badui Arab, Turki dan selainnya yang bermukim pada musim panas di suatu tempat, bila mereka dalam perjalanan dari tempat musim dingin ke tempat musim panas atau sebaliknya, maka boleh mengqashar shalat. Sedangkan bila telah singgah di tempat musim dingin atau tempat musim panas tidak boleh berbuka dan mengqashar shalat.


Tanya:
Ada seorang yang safar di bulan Ramadlan tidak merasa lapar, haus maupun lelah. Apakah yang lebih utama baginya puasa atau tidak?

Jawab:
Menurut ijma' ia lebih utama berbuka meskipun dia tidak merasa berat dan berpuasa juga diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama mengatakan tidak berpahala bila ia puasa.

Tanya:
Ada seorang imam masjid bermadzhab Hanafi menyebutkan bahwa dia membaca kitab bahwa bila seseorang berpuasa di bulan Ramadlan tidak berniat pada akhir waktu isya' atau sahur maka puasanya tidak berpahala. Apakah pendapat ini dibenarkan?

Jawab:
Setiap muslim yang mengetahui bahwa puasa Ramadlan itu wajib hukumnya, ia tentu berpuasa bulan itu dengan niat. Bila ia tahu besok akan puasa haruslah ia meniatkan puasa. Niat itu tempatnya di hati. Setiap orang akan mengetahui apa yang ia inginkan mesti meniatkannya dengan dilafalkan atau tidak. Melafalkan niat bukan wajib menurut ijma' kaum muslimin. Keumuman kaum muslimin berpuasa dengan diiringi niat.

Yang menjadi perselisihan adalah pengkhususan (ta'yin) niat untuk bulan Ramadlan, apakah hal ini wajib atau tidak?

Ada tiga pendapat dalam madzhab Imam Ahmad: Pertama, tidak cukup niat mutlak[2], harus meniatkan puasa Ramadlan. Kedua, boleh secara mutlak seperti pendapat Abu Hanifah. Ketiga, cukup secara mutlak tidak dengan niat tertentu (ta'yin) selain niat puasa Ramadlan. Riwayat yang ketiga ini dari Ahmad dipilih oleh Al-Hiraqi dan Abul Barkat. Maka saya katakan bahwa orang yang mengetahui keinginannya mesti akan berniat. Bila ia tahu besok Ramadlan maka ia akan menta'yin (menentukan niatnya) artinya tidak cukup berniat secara mutlak karena Allah ta'ala memerintahkannya niat menunaikan kewajibannya yaitu puasa bulan Ramadlan. Maka bila ia tidak melakukan berarti belum terbebas dari kewajiban.

Adapun bila seseorang tidak mengetahui bahwa besok bulan Ramadlan tidak wajib atasnya ta'yin dan barangsiapa mewajibkan ta'yin tanpa ia mengetahui yang dita'yin sungguh berarti ia mewajibkan dua perkara yang berlawanan. Berpuasa dengan cara seperti itu, yaitu dengan niat mutlak, cukup baginya. Apabila berpuasa dengan cara seperti itu diniatkan puasa sunnah lalu diketahui bahwa hari itu adalah bulan Ramadlan, maka yang lebih mendekati kebenaran adalah cukup baginya niat mutlak tersebut. Seperti seorang yang dititipi barang atau uang miliknya sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa titipan itu miliknya lalu ia sedekahkan pada orang lain. Lalu tak lama kemudian ia mengetahui bahwa ternyata titipan itu miliknya, maka ia tidak perlu menyerahkan barang itu kedua kalinya, tetapi ia hendaknya mengatakan: Titipan yang kuberikan padamu itu adalah milikku. Dan riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad menyatakan bahwa manusia itu mengikuti niat imamnya yaitu bahwa berbuka atau berpuasa ditentukan oleh ulama. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ.

Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa, Idul Fithri kalian adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Idul Adlha adalah hari kalian menyembelih[3]. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Beliau mengatakan: Hadits ini hasan gharib. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam Ash-Shahihah no. hadits 224 dan Al-Irwa no. hadits 905)

bersambung ke 2/2

0 comments: