CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Tuesday, August 31, 2010

~ Raihlah Keutamaan di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan! ~


Keutamaan Lailatul Qadar

Lailatul Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu dalam surat Al Qadr (artinya):

“Dan tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)

Sehingga malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan selain Ramadhan. Tentu keutamaan yang amat besar ini akan membuat hati yang jernih dan akal yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat meraihnya.

Kapan terjadinya lailatul qadar?

Malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sekali dalam setahun. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

”Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, jika ada diantara kalian lemah, maka jangan sampai luput dari tujuh malam yang tersisa (terakhir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Muslim yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا

…. maka carilah pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari: “Pendapat yang paling kuat tentang terjadinya lailatul qadar adalah pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan terjadinya tidak menetap pada malam tertentu dalam setiap tahunnya.”

Adapun memastikan suatu malam dari bulan Ramadhan bahwa ia adalah malam lailatul qadar (di tahun tersebut), maka membutuhkan dalil (yang shahih dan jelas) dalam penentuannya. Namun malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir itu hendaknya lebih dijaga dibanding selainnya, dan malam keduapuluh tujuh hendaknya lebih dijaga lagi daripada malam-malam ganjil selainnya yang dimungkinkan bertepatan dengan lailatul qadar. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`)

Apa yang seharusnya dilakukan di malam tersebut?

Pertama: Bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir melebihi kesungguhan pada malam-malam selainnya, dalam hal shalat, membaca Al-Qur’an, berdo’a, dan ibadah-ibadah yang lainnya. ‘Aisyah s menceritakan:

كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

“Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memasuki sepuluh malam terakhir, beliau menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya, serta mengencangkan tali pinggangnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Al-Imam Ahmad dan Muslim: “Dahulu beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir yang tidak sama kesungguhannya dengan malam-malam selainnya.”

Kedua: Menegakkan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).

Ketiga: Membaca do’a sebagaimana yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menjumpai suatu malam bahwa itu adalah malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca pada malam itu? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Ucapkanlah (berdo’alah):

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .

“Ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia lagi suka memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi)

I’tikaf

I’tikaf adalah usaha untuk senantiasa menetap di masjid disertai dengan menyibukkan diri dengan ibadah (seperti menegakkan shalat-shalat sunnah disamping shalat lima waktu, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan istighfar), meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat (seperti mengobrol, cerita, senda gurau dan semisalnya), dan tidak keluar dari masjid selama i’tikaf, kecuali bila ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti buang hajat atau semisalnya).

‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Yang disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak berta’ziyah, tidak menggauli dan mencumbu istrinya, serta tidak keluar dari masjid untuk sebuah kebutuhan kecuali perkara yang mengharuskan untuk keluar.”

Padahal dalam agama Islam, menjenguk orang sakit dan berta’ziyah keduanya merupakan perkara yang sangat dianjurkan. Namun demikian, ia menjadi gugur ketika menjalankan ibadah i’tikaf di masjid. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya perkara i’tikaf tersebut. Sehingga orang yang beri’tikaf hendaknya bersungguh-sungguh menggunakan waktunya untuk bermunajat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Ini merupakan sebuah sunnah (ibadah) yang perlu kita hidupkan dan semarakkan, karena hampir-hampir sunnah ini menjadi asing ditengah-tengah umat Islam. Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf di bulan Ramadhan.

Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Zakatul Fitri (Zakat Fitrah) dan Takarannya

Zakat Fitrah diwajibkan atas setiap muslim, baik merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, sebagaimana pernyataan shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma: ”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak 1 sha` kurma atau 1 sha` sya’ir (gandum), (dan diwajibkan) baik atas orang merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun perempuan, dewasa ataupun anak-anak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Takaran Zakat Fitrah adalah 1 (satu) sha` (2,5kg). Sebagian ulama berpendapat 1 sha` sama dengan 3 kg makanan pokok, seperti beras.

Manfaat Zakat Fitrah

Manfaat zakat fitrah adalah:

1. Sebagai pembersih atau penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji.

2. Sebagai subsidi makanan bagi orang-orang miskin

Shahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak ada manfaatnya dan perkataan yang keji dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat Id, maka terhitung sebagai zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red), dan barangsiapa menunaikannya setelah selesai shalat Id, maka itu adalah shadaqah dari shadaqah-shadaqah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kapan Zakat Fitrah Dibayarkan?

Zakat Fitrah dibayarkan pada hari raya Idul Fitri sebelum shalat Id dilaksanakan, atau sehari/dua hari sebelum Idul Fitri. Oleh karenanya dinamakan Zakat Fitrah karena pembayarannya pada hari Idul Fitri (ini adalah waktu yang paling utama), atau dekat dengan Idul Fitri. Dahulu, setelah umat Islam semakin banyak, sebagian para shahabat membayarkan Zakat Fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya Idul Fitri, sebagaimana disebutkan dalam atsar Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. Kapan saja zakat fitrah dibayarkan pada salah satu dari waktu-waktu tersebut, maka terhitung sebagai zakat fitrah yang sah. Sebagaimana dalam hadits di atas: ”Barangsiapa membayarnya sebelum shalat Id, maka ia adalah zakat yang diterima (sah sebagai zakat fitrah, red).”

Kepada Siapa Zakat Fitrah Diberikan?

Zakat Fitrah tidak seperti zakat-zakat lain dalam hal sasaran pembagian. Karena Zakat Fitrah hanya diberikan kepada fakir-miskin, tidak kepada selainnya. Hal ini sebagaimana dalam hadits di atas: ”Zakat Fitrah sebagai makanan bagi orang-orang miskin.”

Bolehkah Zakat Fitrah dibayar dengan uang tunai?

Mayoritas ulama tidak membolehkan zakat fitrah dibayar dengan uang, karena yang demikian tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sementara sangat memungkinkan di masa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam zakat fitrah dibayar dengan uang (dinar atau dirham). Namun, beliau memerintahkan untuk membayar Zakat Fitrah dengan kurma atau sya’ir (gandum, bahan makanan pokok di masa itu). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin).Wallähu a’lam bish showäb.

Penutup

Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menerima amalan-amalan ibadah kita semua, mengampuni dosa-dosa kita semua, dan menggolongkan kita kepada golongan orang-orang yang bertaqwa dengan shaum Ramadhan yang kita laksanakan. Amïn Yä Mujïbas Sä`ilïn..

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 35 / IX / VIII / 1431
http://www.buletin-alilmu.com/?p=509

Tuesday, August 24, 2010

~ Hukum Puasa Sunnah 6 Hari Bulan Syawal ~


Oleh Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts wal Ifta'

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup'." [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]

Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: "Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi'i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:

1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.
"Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah 'Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. ... dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah."
[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
"Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: 'Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan
"Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu."

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa'imah lil Buhuuts wal Ifta', 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun."

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)


Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (yang artinya) : "..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : "Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya" dalam riwayat lain disebutkan : "kecuali puasa Ramadhan"

Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)
Sumber :www.salafy.or.id

Monday, August 23, 2010

~ Beberapa Kekeliruan Kaum Muslimin Seputar Lailatul Qadar ~


Oleh: Syaikh Masyhur bin Hasan
Berikut ini, kami ketengahkan sebuah karya tulis perihal beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin berkaitan dengan Lailatul Qadar. Makalah yang ditulis oleh Syaikh Masyhur bin Hasan, kami terjemahkan dari Al Ashalah, Edisi 3/15 Sya'ban 1413H halaman 76 - 78. Semoga bermanfaat dan sebagai peringatan bagi kami dan segenap kaum muslimin. 1

Kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh beberapa kaum muslimin dalam masalah puasa dan shalat tarawih sangat banyak; baik dalam masalah keyakinan, hukum atau perbuatan.

Sebagian mengira, bahkan meyakini beberapa masalah yang bukan dari Islam, sebagai rukun Islam. Mereka mengambil sesuatu yang rendah (dalam urusan puasa dan lainnya), sebagai pengganti yang lebih baik, karena mengikuti orang- orang Yahudi.

Padahal Nabi telah melarang menyerupai mereka. Bahkan beliau menekankan serta menegaskan, agar (kaum Muslimin) menyelisihi mereka.

Diantara kesalahan ini, ada yang khusus berkaitan dengan lailatul qadar.

Kesalahan ini kami bagi menjadi dua bagian.:

1. Salah Dalam Berpandangan Dan Berkeyakinan

Diantara kesalahannya adalah:

1. Keyakinan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu memiliki beberapa tanda yang dapat diraih oleh sebagian orang. Lalu orang-orang ini merangkai cerita-cerita khurafat dan khayal. Mereka mengaku melihat cahaya dari langit, atau mereka dibukakan pintu langit dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar, ketika beliau menyebutkan dalam Fathul Bari 4/266, bahwa hikmah disembunyikannya lailatul qadar, ialah agar timbul kesungguh-sungguhan dalam mencarinya. Berbeda jika malam qadar tersebut ditentukan, maka kesungguhan-sungguhan hanya sebatas pada malam tertentu itu.

Kemudian Ibnu Hajar menukil riwayat dari Ath-Thabari, bahwa beliau memilih pendapat (yang menyatakan, pent.), semua tanda itu tidaklah harus terjadi. Dan diraihnya lailatul qadar itu tidak disyaratkan harus dengan melihat atau mendengar sesuatu.

Ath Thabari lalu mengatakan, "Dalam hal dirahasiakannya lailatul qadar, terdapat bukti kebohongan orang yang beranggapan, bahwa pada malam itu akan ada hal-hal yang dapat terlihat mata, apa yang tidak dapat terlihat pada seluruh malam yang lain. Jika pernyataan itu benar, tentu lailatul qadar itu akan tampak bagi setiap orang yang menghidupkan malam-malam selama setahun, utamanya malam-malam Ramadhan."

2. Perkataan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat (sudah tidak ada lagi, pent). Al Mutawalli, seorang tokoh madzhab Syafi'i dalam kitab At Tatimmah telah menceritakan, bahwa pernyataan itu berasal dari kaum Rafidhah (Syi'ah).

Sementara Al Fakihani dalam Syarhul Umdah telah menceritakan, bahwasanya berasal dari madzhab Hanafiyah. Demikian ini merupakan gambaran rusak dan kesalahan buruk, yang dilandasi oleh pemahaman keliru terhadap sabda Rasulullah ketika ada dua orang yang saling mengutuk pada lailatul qadar,

Sesungguhnya lailatul qadar itu sudah terangkat,

Pendalilan (kesimpulan) ini terbantah dari dua segi.

a) Para ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kata "terangkat", yaitu terangkat dari hatiku, sehingga aku lupa waktu pastinya; karena sibuk dengan dua orang yang bertengkar ini. Dikatakan juga (maksud kata terangkat, pent.), yaitu terangkat barakahnya pada tahun itu. Dan maksudnya, bukanlah lailatul qadar itu diangkat sama sekali. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan Imam Abdur Razaq dalam Mushannaf-nya 4/252, dari Abdullah bin Yahnus, dia berkata,

Aku berkata kepada Abu Hurairah, "Mereka menyangka, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat." Abu Hurairah berkata,"Orang yang mengatakan hal itu telah berbuat bohong."

b) Keumuman hadits yang mengandung dorongan untuk menghidupkan malam qadar dan penjelasan tentang keutamaannya. Seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan lainnya, Nabi bersabda,

“Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman dan karena mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat.”

Imam Nawawi mengatakan, "Ketahuilah, bahwa lailatul qadar itu ada. Dan lailalatul qadar itu terlihat. Dapat dibuktikan oleh siapapun yang dikehendaki dari keturunan Adam, (pada) setiap tahun di bulan Ramadhan, sebagaimana telah jelas melalui hadits-hadits ini, dan melalui berita-berita dari orang shalih tentang lailatul qadar. Penglihatan orang-orang shalih .tersebut tentang lailatul qadar tidak bisa dihitung."

Saya (Syaikh Masyhur) mengatakan: Ya, kemungkinan diketahuinya lailatul qadar itu ada. Banyak tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Nabi, bahwa lailatul qadar itu, adalah satu malam diantara malam-malam Ramadhan. Dan mungkin, demikian ini maksud perkataan Aisyah pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya, Aku katakan, "Wahai Rasulullah, jika aku mengetahui (adanya) malam itu (sebagai) lailatul qadar, apa yang kuucapkan pada malam itu?"

Dalam hadits ini 2 terdapat bukti, kemungkinan lailatul qadar dapat diketahui dan (juga bukti, pent.) tentang tetap adanya malam itu."

Az Zurqani mengatakan dalam syarah Muwaththa' 2/491, "Barangsiapa yang menyangka, bahwa makna -yang terdapat pada hadits di atas, (yaitu) lailatul qadar sudah diangkat- yakni sudah tidak ada lagi, maka dia keliru. Kalau seandainya benar seperti itu, tentulah kaum muslimin tidak diperintahkan untuk mencarinya".

Hal ini dikuatkan oleh kelanjutan hadits, Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) 3 menjadi lebih baik bagi kalian.Karena dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, menyebabkan orang tertuntut untuk melaksanakan qiyamul lail selama satu bulan penuh. Hal ini berbeda jika pengetahuan tentang waktunya dapat diketahui secara jelas."

Kesimpulannya, lailatul qadar tetap ada sampai hari kiamat. Sekalipun penentuan tepatnya kejadian tersebut dirahasiakan, dalam arti, tetap tidak dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan tentang waktunya.
Meskipun pendapat yang rajih (terkuat), bahwa lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan dalil-dalil menguatkan, bahwasanya dia adalah malam dua puluh tujuh, akan tetapi memastikannya dengan cara yang yakin merupakan perkara sulit. Allahu a 'lam.

2. Kesalahan-kesalahan Dalam Amal Perbuatan Dan Tingkah Laku

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia pada lailatul qadar itu hanyak sekali. Hampir tidak ada yang bisa selamat, kecuali yang dipelihara Allah.

Diantaranya,

1. Mencari dan menyelidiki keberadaannya dan tersibukkan dengan mengintai tanda-tanda lailatul qadar, sehingga lalai beribadah ataupun berbuat taat pada malam itu. Betapa banyak orang-orang yang shalat, kita lihat diantara mereka lupa membaca Al Qur'an, dzikr dan lupa mencari ilmu karena urusan ini. Engkau dapati salah seorang diantara mereka –menjelang terbitnya matahari memperhatikan matahari untuk mengetahui, apakah sinar matahari ini terik ataukah tidak? Mestinya, orang-orang ini memperhatikan pesan yang terdapat pada sabda Nabi, Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) menjadi lebih baik bagi kalian. Dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa malam itu tidak ditentukan.

Para ahli ilmu menarik kesimpulan dari sabda Nabi bahwa dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu lebih baik. Mereka mengatakan, "Hikmah dalam hal itu, agar seorang hamba bersungguh-sungguh dan memperbanyak amal pada tiap-tiap malam dengan harapan agar bertepatan dengan lailatul qadar. Berbeda jika lailatul qadar itu (telah) ditentukan.

Maka, sungguh amal itu hanya akan diperbanyak (pada) satu malam saja, sehingga ia luput dari beribadah pada malam lainnya, atau berkurang."

Bahkan sebagian ahli ilmu mengambil satu faidah dari sabda Nabi tersebut, bahwa sebaiknya orang yang mengetahui lailatul qadar itu menyembunyikannya -berdasarkan dalil- bahwa Allah telah mentaqdirkan kepada NabiNya untuk tidak memberitakan ketepatan waktunya.

Sedangkan semua kebaikan ada pada apa yang telah ditaqdirkan bagi Nabi. Maka, merupakan sunnah untuk mengikuti beliau dalam hal ini. Dari uraian di depan, dapat diketahui kekeliruan orang-orang dalam giatnya mereka shalat secara khusus, atau beribadah secara umum pada malam ke dua puluh tujuh, dengan memastikan atau seakan memastikan, bahwa malam itu adalah lailatul qadar, kemudian meninggalkan shalat dan tidak bersungguh-sungguh berbuat taat pada malam-malam lainnya. Persangkaannya, bahwa mereka hanya akan mendapatkan ganjaran ibadah lebih dari seribu bulan ketika menghidupkan malam ini (malam duapuluh tujuh, pent.) saja.

Kekeliruan ini membuat banyak orang melampaui batas dalam berbuat taat pada malam ini. Anda bisa lihat, diantara mereka ada yang tidak tidur, bahkan tidak henti-hentinya shalat dengan memaksakan diri tanpa tidur.
Bahkan mungkin ada sebagian yang shalat, lalu memperlama shalatnya, sementara dia berjuang keras melawan kantuknya. Dan sungguh, kami pernah melihat diantara mereka ada yang tidur dalam sujud.

Dalam hal ini, satu sisi merupakan pelanggaran terhadap petunjuk Rasulullah yang melarang kita melakukan hal itu. Pada sisi lainnya, itu merupakan beban dan belenggu yang telah dihilangkan dari kita -berkat karunia dan nikmatNya.

2. Diantara kesalahan sebagian kaum muslimin pada malam ini, yaitu sibuk mengatur acara, menyampaikan ceramah. Sebagian lagi sibuk dengan nasyid-nasyid dan nyanyian puji-pujian, sehingga lalai berbuatan taat.
Anda bisa saksikan, ada orang yang begitu bersemangat, berkeliling ke masjid-masjid dengan menyampaikan berita terkini, serta bagaimana upaya pemecahannya. Itu dilakukan hingga menyebabkan pemanfaatan malam itu keluar dari apa yang dimaksudkan syari'at.

3. Diantara kekeliaruan mereka juga, yaitu mengkhususkan sebagian ibadah. Sebagian lagi senantiasa mengerjakan shalat Tasbih secara berjama'ah tanpa hujjah. Sebagian lagi -pada malam ini- melaksanakan shalat hifzhul Qur'an, padahal tidak ada dasarnya. Pelanggaran-pelanggaran dan kekeliruan yang berkaitan dengan lailatul qadar - yang dilakukan banyak kaum muslimin- sangat beragam dan banyak sekali. Kalau kita kumpulkan dan kita selidiki, maka tentu pembicaraan ini menjadi panjang.

Apa yang kami sampaikan disini, baru sebagian kecil saja. (Insya Allah) bermanfaat bagi penuntut ilmu, pendamba kebenaran dan pencari al haq.

1 Redaksi majalah As-Sunnah
2 Sebagaimana dikatakan Imam Syaukani dalam Nailul Authar 3/303.
3 Syarah Shahih Muslim, Bab Fadlu Lailatil Qadar
(Disalin dari majalah As-Sunnah 07/VII/1424H hal 16 - 19.)
http://www.vbaitullah.or.id

Wednesday, August 18, 2010

~ Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia - bhg 1 ~


Puasa Ramadhan adalah karunia luar biasa bagi umat Islam. Maka, sungguh merugi, bila puasa yang dikerjakan selama bulan ini tak mendatangkan pahala lantaran tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”(HR. Ahmad).

Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, dalam buku ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia!’ -terjemahan dari ‘mukhalafat ramadhan’ menjelaskan berbagai kesalahan-kesalahn yang sering dilakukan ketika bulan puasa. Tulisan beliau, insya Allah mampu membimbing kita dalam mengoreksi berbagai praktik yang salah tersebut. Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menjadi panduan setiap muslim dalam menjalani bulan penuh berkah ini. Semoga, kita mampu menjalankan puasa sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam; dan tidak membiarkannya sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.Selamat membaca!

1. Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah
Sebagian orang bila mendengar muadzin mengumandangkan adzan shalat Subuh,mereka baru bangun tidur untuk makan dan minum. Bila Anda menasihati dan menjelaskan bahwa itu salah,mereka akan menjawab bahwa hal itu dibolehkan sampai muadzin mengucapkan: Hayya ‘alash shalah. Bila muadzin mengucapkan kalimat ini, maka makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Pendapat ini tentu membutuhkan dalil yang shahih.Setelah kami teliti dan tanyakan, bahwa hal itu tidak ada dalilnya. Bahkan, itu hanyalah perbuatan yang dianggap baik oleh sebagian orang dan tertolak berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafal riwayat yang lain:

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas dasar perintah kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim)

Nash Al-Quran dan As-Sunnah telah menetapkan batasan imsak, yaitu ketika telah terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Bila fajar telah diketahui, maka orang yang sahur hendaklah meninggalkan makan dan minum. Inilah yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Al-Baqarah: 187).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari).

Ibnu Ummi Maktum adalah sahabat yang buta. Ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum ada orang yang mengatakan kepadanya, “Waktu Subuh telah tiba. Waktu Subuh telah tiba.”

Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa batasan imsak itu adalah terbitnya fajar, sedangkan adzan hanya sebagai pemberitahuan hal itu. Maka, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, berarti waktu imsak telah masuk. Jadi, waktu imsak itu bukan dibatasi pada ucapan muadzin: Hayya ‘alash shalah.

2. Makan Sahur Lebih Awal

Kesalahan lain yang dilakukan oleh orang yang puasa adalah bersegera makan sahur pada awal waktu. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan pahala yang banyak. Sebab, menurut As-Sunnah, seorang muslim hendaknya mengakhirkan makan sahur agar mendapatkan pahala karena mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu, ia berkata,

“Kami pernah makan sahur bersama Nabi. Setelah itu, beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya, ‘Berapa lama waktu antara adzan dan makan sahur?’ Zaid bin Tsabit menjawab, ‘Kira-kira selama bacaan 50 ayat’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Sengaja Minum Saat Adzan Subuh

Kesalahan lain terkait dengan puasa, sengaja minum saat adzan Subuh kedua yang dilakukan sebagian orang. Menjelang adzan dikumandang, Anda melihatnya hanya duduk santai. Namun, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, ia justru bergegas untuk mengambil air dan meminumnya. Bila diingatkan, ia menjawab, “Aku boleh makan dan minum sampai adzan selesai.” Dengan perbuatannya itu, ia telah merusak puasanya, terutama bila muadzin teliti dalam melihat jadwal adzan. Allah Ta’ala telah mensyariatkan waktu imsak ketika masuk waktu shubuh dengan firman-Nya:

“.. .dan makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.’(Al-Baqarah: 187).

Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari-Muslim).

Kata ‘hatta’ dalam ayat dan hadits di atas berarti masuk, maksudnya kalian boleh makan dan minum sampai waktu Subuh. Hanya saja, ada permasalahan yang harus dijelaskan berkaitan dengan hal ini. Yaitu, seorang muslim boleh minur air di gelas yang telah berada di tangannya saat muadzin mengumandangkan adzan. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Bila salah seorang di antara kalian mendengar seruan adzan sedangkan gelas minuman masih di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sebelum melaksanakan keinginannya untuk minum.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, Hakim, Baihaqi, dan lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat).

Perlu ditambahkan juga terkait hal ini, bahwa seorang muslim masih dibolehkan makan dan minum setelah adzan bilamana muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya. Adzan tersebut tidak berlaku, sehingga orang yang puasa tidak diharamkan dari apa pun yang dibolehkan oleh Allah baginya di waktu ifthar. Shalat Subuh juga tidak dianjurkan untuk segera dilaksanakan karena waktunya belum masuk.

Syaikhul Islam mengatakan, “Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum fajar terbit, sebagaimana Bilal mengumandangkan adzan sebelum fajar pada masa Nabi dan adzannya para muadzin di Damaskus dan kota lainnya, maka makan dan minum setelah itu tidak ada masalah dengan waktu secukupnya.”1

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Adzan shalat Subuh, baik setelah terbit fajar atau sebelumnya, jika dikumandangkan setelah terbit fajar, maka orang yang sahur wajib berhenti makan dan minum dengan sekedar mendengar adzan saja. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Dia tidak mengumandangkan adzan kecuali fajar telah terbit.” (HR. Bukhari-Muslim).

Jika kalian mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan setelah terbit fajar Subuh, maka berhentilah makan dan minum ketika mendengar adzan itu.”2

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan saat menjawab masalah ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya, “Seorang mukmin yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta lainnya bila terbitnya fajar sudah ia ketahui. Itu dalam puasa wajib, seperti; puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“… Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187).

Selain itu, bila ia mendengar adzan dan mengetahui bahwa itu adzan Subuh, maka ia wajib berhenti dari makan dan minum. Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar atau setelahnya, maka yang utama dan selamat adalah berhenti makan dan minum bila telah mendengarnya. Tidak ada masalah, seandainya seseorang minum atau makan sekedarnya ketika terdengar adzan, karena ia tidak mengetahui terbitnya fajar.

Telah diketahui bersama bahwa masyarakat yang tinggal di tengah-tengah kota yang terdapat banyak cahaya listrik mereka tidak bisa mengetahui terbitnya fajar dengan mata kepalanya sendiri pada waktu tersebut. Namun, ia hendaknya berhati-hati dalam menggunakan jadwal adzan dan kalender waktu yang membatasi terbitnya fajar dengan jam dan menit sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Bukhari)

Juga sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,

“Barangsiapa menjauhi sesuatu yang samar (syubhat), berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).

Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”3

4. Memajukan Waktu Adzan Subuh

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada muadzin, dengan sabda beliau:

“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakankan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Karena itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.”4

Di samping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.

5. Merasa Berdosa Karena Lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa

Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa karena faktor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, bahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah pendapat yang benar. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR.Bukhari)5

Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.” 6

Syaikh Muhammad bin Utsaimin ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun, dalil sempurnanya puasa karena lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu: ”Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim).

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (Al-Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni’.”

6. Tidak Mengingatkan Orang Lain yang Makan dan Minum Karena Lupa

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum karena lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bahwa bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikapnya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemunkaran dengan kebodohannya itu.

Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka Anda tidak semestinya mengingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadits. Apakah tindakan ini benar? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”

Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemunkaran, meskipun pelakunya memiliki alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (menqadha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaqun’Alaih).

Pun demikian dengan musafir, ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian karena mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”7

Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Al Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum karena lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya?

Ia menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa karena lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu,

‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim).

Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (Al-Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa karena lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Karena, ini termasuk mengubah kemunkaran. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya! (HR. Muslim)

Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemungkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa karena memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.”8

Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, karena itu wajib hukumnya dan lermasuk bentuk amar makruf nahi munkar. Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum karena dianalogikan dengan kedua hal tersebut.”9 Bersambung pada tulisan kedua, insya Allah.
--------------------------------------------------------------------------------
disalin dari buku Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia! terjemahan dari: Mukhalafat Ramadhan, Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, Penerbit Qiblatuna – Solo, hal 41-64

Catatan kaki:
1.majmu’ul fatawa, XXV: 216 [↩]
2.durus wa fatawa fil haramil makki, hal 144 [↩]
3.kitabud dakwah hal.1014 [↩]
4.Fathul Bari, IV:199 [↩]
5.Fathul Bari, IV: 155 [↩]
6.Fathul Bari, IV: 158 [↩]
7.Majalah Ad-Da’wah, edisi : 1186, 30 Sya’ban 1409 H [↩]
8.Fatawash Shiyam, karya Syaikh Ibnu Jibrin dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.27-28 [↩]
9.Dinukil dari penjelasan Syaikh Jibrin dalam ulasan singkat tentang buku Manarus Sabil pada 10 Rabi’ul Awal 1406 H [↩]
http://jilbab.or.id/archives/819-jangan-biarkan-puasa-anda-sia-sia-1/

~ Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia - bhg 2 ~


“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (Hr. Ahmad)

Pada bagian kedua ini, syaikh Abdul Aziz As Sadhan memaparkan koreksi beliau mengenai:

1.mengakhirkan adzan maghrib
2.mengakhirkan berbuka
3.tidak bersiwak setelah matahari condong ke barat
4.merasa tertekan karena di pagi hari dalam kondisi junub
Selamat membaca…

7. Mengakhirkan Adzan Maghrib

Kesalahan lain yang berkaitan dengan muadzin pada bulan Ramadhan, ada sebagian orang tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah kegelapan merata, dan tidak cukup hanya dengan terbenamnya matahari saja. Mereka beranggapan bahwa itu merupakan sikap lebih berhati-hati dalam ibadah. Perbuatan ini termasuk menyelisihi sunnah. Sebab, menurut sunnah, hendaknya adzan dikumandangkan ketika matahari terbenam dengan sempurna, sedangkan acuan yang lain tidak dianggap. Allah Ta’ala berfirman:

“…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (Al-Baqarah: 187)

Allah Ta’ala menjadikan batasan puasa dengan masuknya waktu malam. Sedangkan, masuknya waktu malam ditandai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa bila matahari telah terbenam, berarti telah masuk waktu malam dan orang yang puasa dibolehkan berbuka.”1

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang terbenamnya matahari, apakah dibolehkan bagi orang yang puasa berbuka dengan sekedar melihat terbenamnya matahari? Syaikhul Islam rahimahullah menjawab, “Bila bulatan matahari seluruhnya telah terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka. Sodangkan, warna merah menyala yang masih terlihat di ufuk itu tidak perlu dianggap. Bila bulatan matahari seluruhnya telah sirna, maka akan tampak warna hitam di ufuk timur, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka” 2

8. Mengakhirkan Berbuka

Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslimin adalah mengakhirkan buka puasa. Di sini ada dua kesalahan;

pertama, hal itu pada umumnya akan menyebabkan terlambatnya pelaksanaan shalat Maghrib. Bahkan, terkadang bisa menyebabkan habisnya waktu shalat Maghrib secara keseluruhan. Ini tentu saja musibah yang lebih besar dan lebih pahit. Karena itu, seorang muslim harus segera buka puasa agar bisa shalat berjamaah bersama kaum muslimin.

Kedua, mengakhirkan buka puasa berarti menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyerupai kaum yahudi dan nasrani. Hal ini dijelaskan oleh dalil-dalil berikut. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

“Umatku senantiasa di atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang-bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban).

Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata,

“Ada tiga akhlak kenabian; menyegerakan berbuka puasa; mengakhirkan makan sahur; dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” (HR. Thabarani, hadits mauquf).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‘Agama (Islam) ini akan senantiasa unggul selama pemeluknya menyegerakan berbuka, karena yahudi dan nasrani mengakhirkan (berbuka).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Ini merupakan dalil, bahwa kemenangan agama Islam yang didapatkan dengan menyegerakan berbuka puasa itu karena menyelisihi kaum yahudi dan nasrani. Bila menyelisihi mereka merupakan sebab kemenangan agama, sedangkan Allah mengutus para rasul agar agama yang hak dimenangkan-Nya terhadap semua agama, maka menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani termasuk tujuan terbesar diutusnya rasul.”

9. Tidak Bersiwak Setelah Matahari Condong ke Barat

Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah keengganan sebagian umat Islam bersiwak setelah matahari condong ke Barat. Mereka juga mengingkari orang yang bersiwak pada waktu tersebut. Di antara argumen pengingkaran mereka bahwa bersiwak itu menghilangkan bau mulut, padahal di sisi Allah, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak kasturi, sebagaimana yang tertera dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim) 3

Imam Asy-Syaukani mengisyaratkan hal ini dalam kitab Nailul Author ketika menyebutkan perbedaan pendapat terkait bau mulut orang puasa, apakah itu terjadi di dunia atau di akhirat. Asy-Syaukani mengatakan, “Perbedaan pendapat ini berakibat munculnya pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi orang berpuasa.” 4

Dalil lain yang mereka jadikan argumen adalah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ath- Thabrani, dan Daruquthni dari Ali radhiyallahu anhu secara mauquf serta dari Khabbab radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Bila kalian puasa, maka bersiwaklah pada pagi hari dan jangan bersiwak pada sore hari. Karena sesungguhnya, tidaklah kedua bibir orang puasa kering pada sore hari, kecuali akan menjadi cahaya antara kedua matanya pada hari kiamat.”

Ini adalah hadits dha’if marfu’, dan mauquf. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-’Iraqi, Ibnu Hajar, dan Asy-Syaukani5

Orang yang enggan bersiwak saat matahari telah condong ke Barat atau sore hari, berdalil dengan riwayat yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata,

“kamu boleh bersiwah sampai waktu ashar. Bila kamu telah shalat (ashar), maka tinggalkan siwak itu. Sesungguhnya, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘… bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah … “(HR. Daruquthni) 6

Asy Syaukani rahimahullahu berkata, “Perkataan Abu Hurairah -selain konteksnya tidak menunjukkan sebuah permintaan- tidak bisa dijadikan hujjah karena di dalam sanadnya terdapat Umar bin Qais. Ia tidak dipakai haditsnya. Pendapat yang benar, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang puasa, baik pada pagi maupun sore hari. Inilah pendapat jumhur ulama.” 7Dalil yang menunjukkan bolehnya bersiwak adalah keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat (Muttafaqun ‘Alaih)

Imam Bukhari mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memberikan kekhususan bagi orang yang puasa dari yang lain.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

“Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Rabb.” 8

Dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang dinyatakan bagus oleh Ibnu Hajar.9

Disebutkan dari Abdurrahman bin Ghanmin, ia berkata, “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal,’ Apakah aku mesti bersiwak saat aku puasa?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Kapan waktunya?’ tanyaku. ‘Sesukamu, pagi atau sore,’ jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Orang-orang enggan bersiwak di sore hari. Mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi?’ Ia menjawab, ‘Subhanallah, beliau telah memerintahkan mereka bersiwak, sedang beliau mengetahui bahwa orang puasa itu pasti bau mulutnya tidak sedap, meski ia bersiwak. Orang yang menyuruh orang lain agar dengan sengaja membuat bau mulutnya tidak sedap, maka tidak ada kebaikannya sama sekali, bahkan yang ada adalah keburukan. Kecuali, bila orang tersebut sedang diuji dengan mendapat musibah dan tidak mendapatkan jalan keluarnya sama sekali’.Aku bertanya lagi, ‘Apakah debu akibat berjuang di jalan Allah akan dibalas dengan pahala, yaitu bagi orang yang dipaksa keluar ke sana dan tidak mendapatkan jalan keluar darinya?’ Ia menjawab, ‘Benar. Adapun, orang yang sengaja melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan, maka ia tidak mendapatkan pahala’. 10

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, “Orang yang puasa tidak batal puasanya hanya dengan bersiwak. Bahkan, siwak adalah sunnah baginya dan bagi selainnya di setiap waktu, baik pagi atau sore hari.” 11

10. Merasa Tertekan Karena di Pagi Hari Dalam Kondis Junub

Kesalahan lain adalah perasaan sangat tertekan yang dialami oleh sebagian umat Islam bila bangun pagi dalam kondisi junub. Kepada mereka, perlu disampaikan, “Tidak ada dosa atas kalian Sempurnakanlah puasa kalian. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mendapatkan waktu Subuh dalam keadaan junub. Lalu, beliau mandi dan puasa.”

Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang orang yang puasa yang mimpi basah pada siang hari bulan Ramadhan; apakah puasanya batal atau tidak dan apakah ia wajib segera mandi. Ia menjawab, “Mimpi basah tidak membatalkan puasa. Sebab, itu bukan atas kemauan orang puasa. Hendaknya ia mandi janabat bila ia mendapati air mani pada dirinya. Seandainya ia mimpi basah setelah shalat Subuh dan mengakhirkan mandi sampai waktu Zhuhur, maka hal tersebut tidaklah mengapa.

Pun demikian, seandainya ia mengauli istrinya pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atasnya. Ada riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa pada waktu Subuh beliau pernah junub karena bersetubuh, lalu beliau mandi dan berpuasa.

Wanita yang sedang haid atau nifas juga sama, seandainya keduanya telah suci pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atas mereka, dan puasanya tetap sah. Akan tetapi, keduanya tidak boleh mengakhirkan mandi atau shalat sampai terbitnya matahari. Mereka harus segera mandi sebelum terbit matahari, sehingga mereka bisa menunaikan shalat tepat waktunya. Seorang lelaki harus segera mandi janabat sebelum waktu shalat Subuh, sehingga ia bisa melaksanakan shalat dengan berjamaah. Wallahu waliyyut taufiq.” 12

Terkait masalah ini, Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan, “Bila fajar telah terbit, maka puasa orang yang sedang junub tetap sah dan tidak ada masalah dengannya. Dalil mengenai ini ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:

“Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. ..” (Al-Baqarah : 187)

Allah menghalalkan bersetubuh pada malam hari sampai fajar tampak jelas. Ini berkonsekuensi bahwa orang itu tidak mandi kecuali setelah terbit fajar. Sebab, bila perbuatan ini dibolehkan untuknya sampai terbit fajar, maka ia akan tetap dalam kondisinya sampai akhir malam yang singkat itu, dan pasti mandinya akan dilakukan setelah terbit fajar.

Adapun dalil dari As-Sunnah adalah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah dalam keadaan junub pada waktu pagi dan beliau pun berpuasa. Akan tetapi, yang utama bagi orang yang junub hendaklah segera mandi agar ia dalam kondisi suci. Bila itu tidak mungkin, maka hendaklah ia berwudhu, karena wudhu dapat meringankan janabat.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang tidur dalam kondisi junub. Beliau menjawab,

“Bila ia telah wudhu, silakan tidur.” (HR. Bukhari).

Ini merupakan dalil bahwa wudhu bisa meringankan janabat, juga sebagai dalil bahwa seseorang itu semestinya tidur dalam keadaan suci. Bisa jadi suci secara sempurna yaitu dengan mandi atau suci yang meringankan yaitu dengan berwudhu.13
--------------------------------------------------------------------------------
disalin dari buku ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia! terjemahan dari: Mukhalafat Ramadhan, Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, Penerbit Qiblatuna – Solo, hal 41-64
--------------------------------------------------------------------------------
Catatan kaki:
1.Mukhtashar Qiyamil Lail, hal. 58 [↩]
2.Majmu’ul Fatawa, XXV : 215-216 [↩]
3.Potongan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Al-Fath, IV : 103 [↩]
4.Nailul Authar, IV : 236 [↩]
5.Silsilatudh Dha’ifah, I : 394; dan Naitul Authar, I : 129 untuk lebih jelasnya tentang masalah bau mulut ini silahkan membaca buku ini [↩]
6.Potongan hadits yang dikeluarkan Bukhari & Muslim dari A Hurairah m,Al-Fath, IV : 103 [↩]
7.Nailul Authar, I: 129 [↩]
8.Shahih Al-Jami’ush Shaghir, III : 234 [↩]
9.Dalam kitab At-Talkhishul Habir [↩]
10.Syaikh Al-Albani mencantumkannya dalam As-Silsilatudh Dha’ifah, 1: 395.Ia berkata, “Sanadnya mengindikasikan baik [↩]
11.Risalah Fushul fish Shiyam wat Tarawih waz Zakah, hal. 15 [↩]
12.Kitabud Dakwah, hal. 121 [↩]
13.Fatawa Nur’alad Darb, hal. 53 [↩]
http://jilbab.or.id/archives/838-jangan-biarkan-puasa-anda-sia-sia/

Saturday, August 14, 2010

~ Klasifikasi Manusia di Bulan Ramadhan ~


Terkait dengan bulan Ramadhan,manusia terbagi menjadi beberapa macam :

PERTAMA

Kelompok yang menunggu kedatangan bulan ini dengan penuh kesabaran. Ia bertambah gembira dengan kedatangannya,hingga ia pun menyingsingkan lengan dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam bentuk ibadah seperti; puasa, shalat, sedekah, dan lain sebagainya. Ini merupakan kelompok yang terbaik.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,

“’Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang paling berderma. Namun, beliau lebih berderma lagi pada bulan Ramadhan, ketika beliau selalu ditemui Jibril.Setiap malam pada bulan Ramadhan, Jibril menemui beliau hingga akhir bulan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam membacakan Al-Quran kepadanya. Bila beliau bertemu Jibril,beliau lebih berderma daripada angin yang bertiup.” 1

KEDUA

Kelompok yang sejak bulan Ramadhan datang sampai berlalu, keadaan mereka tetap saja seperti sebelum Ramadhan. Mereka tidak terpengaruh oleh bulan puasa itu serta tidak bertambah senang atau bersegera dalam hal kebaikan. Kelompok ini adalah orang-orang yang menyia-nyiakan keuntungan besar yang nilainya tidak bisa diukur dengan apa pun. Sebab, seorang muslim akan bertambah semangatnya pada waktu-waktu yang banyak terdapat kebaikan dan pahala di dalamnya.

KETIGA

kelompok yang tidak mengenal Allah, kecuali pada bulan Ramadhan saja.Bila bulan Ramadhan datang Anda dapat melihat mereka ikut rukuk dan sujud dalam shalat. Tetapi, bila Ramadhan berakhir, mereka kembali berbuat maksiat seperti semula.Mereka adalah kaum yang disebutkan kepada Imam Ahmad dan Al-Fudhail bin Iyadh dan keduanya berkata, “Mereka adalah seburuk-buruk kaum lantaran tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan.”

Karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini semestinya tahu bahwa ia telah menipu dirinya sendiri dengan perbuatannya tersebut. Setan pun juga memperoleh keuntungan besar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

”Setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad: 25)

Sebagai bentuk ajakan dan peringatan untuk kelompok seperti mereka, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Kami menghimbau agar mereka memanfaatkan bulan ini untuk kembali dan tunduk ke pada Allah serta meminta ampun dan meninggalkan perbuatan buruk yang telah lalu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya, Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap dijalan yang benar.” (Thaha 20: 82)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.”

(Al-Furqan : 70)

Bila Allah telah mengetahui ketulusan dan keikhlasan mereka, maka Dia akan memaafkan mereka sebagaimana yang Dia janjikan. Karena, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Namun, bila mereka tetap saja berbuat maksiat, maka kita harus mengingatkan perbuatan mereka, dan menyampaikan bahwa mereka dalam bahaya besar. Bahaya macam apalagi yang lebih besar daripada meremehkan kewajiban, batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya.

KEEMPAT

kelompok yang hanya perutnya saja yang berpuasa dari segala macam makanan, namun tidak menahan diri dari selain itu. Anda akan melihatnya sebagai orang yang paling tidak berselera terhadap makanan dan minuman. Akan tetapi, mereka tidak merasa gerah ketika mendengar kemungkaran, ghibah, adu domba, dan penghinaan. Bahkan, inilah kebiasaannya pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.

Kepada orang-orang seperti ini, perlu kita sampaikan bahwa kemaksiatan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya itu diharamkan, tetapi lebih diharamkan lagi pada bulan Ramadhan, menurut pendapat sebagian ulama. Dengan kemaksiatan tersebut berarti mereka telah menodai puasa dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam diri orang yang meninggalkan makanan dan minumannya.” 2

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:

“Puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tetapi puasa itu adalah meninggalkan perbuatan sia-sia dan perkataan keji.” 3

KELIMA

kelompok yang menjadikan siang hari untuk tidur, sedangkan malam harinya untuk begadang dan main-main belaka. Mereka tidak memanfaatkan siangnya untuk berdzikir dan berbuat kebaikan, tidak pula membersihkan malamnya dari hal-hal yang diharamkan.

Kepada orang-orang seperti ini perlu kita sampaikan agar mereka takutlah kepada Allah berkenaan dengan diri mereka. Janganlah menyia-nyiakan kebaikan yang datang kepada mereka. Mereka telah hidup sejahtera dan makmur. Hendaklah mereka bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha dan dan bergembira dengan berita dari Allah yang menyenangkan.

KEENAM

kelompok yang tidak mengenal Allah pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling buruk dan berbahaya. Anda akan melihat mereka tidak memperhatikan shalat atau puasa. Mereka meninggalkan kewajiban itu secara sengaja, padahal kondisinya sehat dan segar bugar. Setelah itu mereka mengaku sebagai orang Islam. Padahal, Islam sangat jauh dari mereka, bagaikan jauhnya Barat dan Timur. Orang-orang Islam pun berlepas diri dari mereka.Kepada orang-orang semacam ini perlu dikatakan,

”Segeralah bertaubat dan kembalilah kepada agama kalian. Lipatlah lembaran hitam hidup kalian. Sesunguhnya, Rabb kalian Maha penyayang kepada siapa saja yang mentaati-Nya, dan sangat keras siksanya kepada orang yang mendurhakai-Nya.”

Demikianlah, klasifikasi manusia secara global berkaitan dengan bulan Ramadhan. Meski mungkin sebagian kelompok masuk pada pada kelompok lainnya, namun ini perlu dijelaskan.
*diketik Ulang oleh Sutikno dari buku: “Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia!”, Penyusun: Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, terbitan ‘Qiblatuna – Solo’ halaman 25-29]*

Catatan kaki:
1.HR. Bukhari
2.Hr. Bukhari dan Abu Dawud
3.HR. Ibnu Hibban
http://jilbab.or.id/archives/711-klarifikasi-manusia-di-bulan-ramadhan/

Friday, August 13, 2010

~ Agar Puasa Lebih Bermakna 2/2 ~


3 Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Menjalankan Puasa Ramadhan
Syaikh Abdullah bin Jarillah menyebutkan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan oleh orang yang berpuasa. Di sini kami nukil secara ringkas, dengan disertai sedikit tambahan dan takhrij ringkas beberapa haditsnya.

■Mengenal hukum-hukum puasa
Banyak kaum Muslimin yang memasuki bulan puasa ini tanpa bekal ilmu tentang puasa sama sekali. Celakanya, mereka juga tak begitu merasa perlu untuk belajar. Padahal Allah ta berfirman:
“Bertanyalah kepada para ulama, kalau kamu sekalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

■Menyambut puasa dengan hura-hura, bukan dengan banyak berdzikir, beristigfar dan mensyukuri nikmat Allah. Klimaksnya, bulan yang penuh berkah ini tidaklah menggiring mereka untuk semakin bertakwa; tapi sebaliknya, semakin terbuai seribu satu kemaksiatan.

■Sebagian kaum Muslimin, memasuki bulan Ramadhan dengan gambaran lahir seperti orang-orang yang bertaubat. Mereka shalat, berpuasa dan meninggalkan banyak kemaksiatan yang biasa dilakukan.

Namun seusai bulan puasa, mereka kembali menjadi pecinta kemaksiatan. Seolah-olah, mereka hanya mengenal Allah di bulan nan suci ini. Atau mungkin mereka hanya memandang ibadah di bulan ini sebagai satu tradisi. Nabi bersabda:

“Barangsiapa yang beribadah hanya untuk didengar orang, maka Allah pun akan memberi ganjaran dengan sekedar (ibadah itu) didengar orang. Barangsiapa yang beribadah untuk sekedar dilihat orang, demikian juga Allah akan memberinya ganjaran.” 12

■Ada juga sebagian kaum Muslimin yang beranggapan bahwa bulan Ramadhan ini cocok dijadikan waktu untuk beristirahat, tidur-tiduran dan bermalas-malasan di siang hari, lalu begadang di malam hari. Bahkan seringkali, begadang malam itu dibumbui dengan hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah. Dengan permainan, mengobrol kesana kemari, berghibah, bahkan -kadang terjadi- berjudi, wal ‘iyadzu billah

■Selain itu, ada juga kaum Muslimin yang menyambut bulan ini dengan dingin dan tak bergairah. Kalau sudah berlalu, ia akan kegirangan. Mereka beribadah dan berpuasa, semata-mata mengikuti kebiasaan manusia di sekitarnya. Alangkah miripnya mereka dengan keadaan orang-orang munak yang memang senang bermalas-malasan dalam ibadah. Allah as berrman:
“Sesungguhnya orang-orang munak itu (berusaha) menipu Allah, tetapi Allah-lah yang akhirnya menipu mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk bershalat mereka berdiri dengan malas….” (An-Nisa: 142)

Rasulullah juga bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

■Banyak di antara mereka yang begadang malam untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, sampai-sampai meninggalkan subuh berjama’ah. Padahal Rasulullah bersabda:
“Tidak dibolehkah begadang itu melainkan bagi orang yang shalat (malam), atau musar.” 13

■Sebagian di antara mereka menghindari diri dari berbagai pembatal puasa; seperti makan, minum, berjima’ dan lain-lain. Tetapi mereka tak berusaha menghindari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa; seperti bebas melihat aurat wanita di jalan-jalan (bahkan terkadang menjadi kebiasaan sehabis shubuh dan menjelang berbuka), atau di majalah-majalah, berghibah, mencaci-maki orang dan lain sebagainya.

■Suka berdusta Ada sebagian kaum Muslimin yang menganggap ringan berkata dusta, termasuk di bulan suci Ramadhan, di kala berpuasa. Padahal Rasulullah pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak juga meninggalkan berkata-kata dusta dan masih juga melakukannya (di kala berpuasa), maka Allah tak sedikitpun sudi menerima ibadah puasanya, meski ia meninggalkan makan dan minum.” 14

■Satu hal yang aneh, namun benar-benar sering terjadi; seseorang berpuasa, tapi tidak shalat. Atau terkadang ada yang rajin shalat, tapi selalu beralasan tidak kuat berpuasa. Padahal sungguh tidak ada manfaat orang itu berpuasa kalau dia tidak shalat. Karena shalat adalah pilar dien/agama Islam.

■Ada juga sebagian kaum elit di kalangam Muslimin yang sengaja bersafar terkadang keluar negeri agar mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Padahal Allah Maha Mengetahui apa yang terbetik dalam hati hamba-Nya.

■Sebagian kaum Muslimin, ada yang berbuka puasa dengan mengkonsumsi sesuatu yang haram. Terkadang minuman keras, rokok (itu banyak terjadi), serta makanan dan minuman yang didapat dan usaha yang haram.

Selain itu, beliau juga menyebutkan beberapa hal lain yang layak diperhatikan. Dan juga masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dalam melakukan ibadah puasa.

Terkadang, bahkan merusak bingkai kerja dari puasa itu sendiri; yaitu menahan diri dan makan dan minum. Bentuknya? Dengan mengumbar nafsu makan dan minum tatkala berbuka puasa. Ibnu Taimiyyah mengungkapkan penafsiran yang bagus tentang hadits nabi :
“Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia mengikuti aliran darah.” 15

Beliau berkata:
“Orang yang puasa dilarang makan dan minum karena keduanya adalah sebab tubuh itu menjadi kuat. Dan makanan dan minum itulah yang dapat menghasilkan banyak darah, tempat di mina setan ikut berjalan mengaliri tubuh manusia. Sesungguhnya darah yang di telusupi setan itu memang berasal dan makanan dan minuman, bukan dan suntikanatau faktor keturunan.” 16

4 Manfaat-Manfaat Ibadah Puasa
Syaikh Ali Hasan dalam “kitabu Ash-Shiyam” menuturkan beberapa faedah puasa berdasarkan keterangan dari beberapa hadits. Akan kami sebutkan di sini dengan ringkas:

4.1 Puasa itu adalah perisai
Bagi mereka yang masih diamuk jiwa muda dan syahwat membara, namun masih belum terbuka pintu menuju pelaminan; disyari’atkan baginya untuk mengekang keinginan syahwatnya itu dengan berpuasa. Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Wahai pemuda-pemudi, barangsiapa di antara kamu yang sudah memiliki kemampuan seksualitas, hendaknya ia menikah. Karena menikah itu lebih dapat memelihara pandangan dan kemaluan. Kalau ia belum mampu menikah, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat penawar gejolak syahwat.”

Lebih khusus lagi Rasulullah juga bersabda yang artinya:

“Puasa itu ibarat perisai, ia akan menamengi seorang samba dari siksa neraka.” 17

Nah khusus di bulan Ramadhan, sebulan penuh seorang Muslim akan diasah jiwanya dengan puasa sehingga bisa terbentengi dari sergapan setan yang selalu memperalat hawa nafsu untuk menjungkirkan seorang hamba ke jurang neraka. Tentu saja hal itu utama bagi mereka yang berkeinginan dengan puasanya untuk mencapai ketakwaan kepada Allah.

4.2 Puasa adalah jalan menuju Jannah
Dari Umamah berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku satu amalan yang akan menggiringku menuju Jannah.” Beliau bersabda: “Lakukan puasa, tak ada amalan yang setara dengannya.” 18

4.3 Puasa dapat menjadi perantara turunnya syafa’at
Rasulullah bersabda, yang artinya:

“Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafat kepada seorang hamba di hari kiamat nanti. Sang puasa berkata: “Ya Allah, aku telah menghalanginya makan dan mengumbar nafsu, jadikanlah aku perantara untuk menyampaikan syafa’at-Mu kepadanya. 19

4.4 Dua saat kebahagiaan bagi orang yang berpuasa
Nabi bersabda:
“Orang yang berpuasa memiliki dua saat-saat penuh kebahagiaan: kala ia berbuka, dan, di saat ia menjumpai Rabb-nya (selepas hidup di dunia). 20

4.5 Pintu Rayyan di Jannah (surga), bagi kaum yang berpuasa
Dari Sahal bin Sa’ad, dari Nabi bahwasanya beliau bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya di Jannah kelak, ada pintu yang bernama Rayyan. Dari situlah kaum yang berpuasa akan masuk Jannah di hari kiamat. Tak seorangpun kecuali mereka yang akan memasukinya. Bila orang terakhir di antara mereka telah masuk, pintu segera ditutup; dan barangsiapa (di antara yang masuk) meminum sedikit airnya, niscaya ia tak akan dahaga selamanya.” 21

Allah-lah Pencipta segala kebahagiaan, kepada-Nyalah’ kembali akhir kehidupan. Selayaknya kita menyambut bulan yang penuh berkah dengan penuh gairah dan kegembiraan. Di sanalah, dan dari sanalah kita akan beranjak dengan taufik Sang Maha Rahman menuju Jannah-Nya yang penuh kebahagiaan.
---------------
12 Dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Ibnu Abbas (2986). Juga dari hadits Jundub dengan lafadz yang berbeda (6123). Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam kitab: Ar-Raqaiq (6134).

13Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3421, 4023) dan Imam Suyuthi dalam Al-Jami’ Ash-Shaghir, dan beliau mengisyaratkannya sebagai hadits hasan.

14 HR. AI-Bukhari kitab: Ash-Shaum 1770, 5597 dengan lafadz: Barangsiapa yang belum meninggalkan perkataan dusta, mengerjakannya dan masa bodoh dengannya…

15 Diriwayatkan oleh Ahmad (12132, 13631), Al-Bukhari kitab A1-I’tikaf (1897), kitab: Bad’ul kholq (3039) dan kitab; Al-Adab (6761) dan Muslim kitab: As-Salam (4040) dari hadits Anas bin Malik dan Shayyah binti Huyay, juga oleh Abu Dawud kitab: Al-Adab (4243), At-Tirmidzi kitab: Ar-Radha’ (1092) Ibnu Majah kitab: Ash-Shiyam (1769) dan ini lafadznya.

16 Lihat Haqiqatu ash-shiyam – oleh Ibnu Taimiyyah.

17 Diriwayatkan oleh Ahmad 111/241.

18 Diriwayatkan oleh Nasa’i (1V/165), Ibnu Hibban (hal. 232 – Mauridu Adz-Dzam’an) dan Al- Hakim (1/421).

19 Diriwayatkan oleh Ahmad: 6626, Al-Hakim: U 54 dan lain-lain dari hadits Abdullah bin Amru.

20 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ash-Shaum.

21 Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (4/95), Muslim (1152). Sedikit tambahan dibagian akhir hadits berasal dari Shahih Khuzaimah (1903).

Penulis : Ustadz Abu Umar Basyir
http://abuumar.com/

Friday, August 6, 2010

~ Agar Puasa Lebih Bermakna 1/2 ~


Oleh: Abu Umar Basyir
Bulan Ramadhan merupakan bulan nan pernuh berkah; Ramadhan menjadi penghulu segala bulan dalam hutungan tahun Hijriyah, tahunnya umat Islam. Ramadhan adalah bulan shiyam (puasa), dan dia juga bulan qiyam (shalat malam).

1 Keutamaan Bulan Ramadhan
Hadits-hadits yang mengupas keutamaan bulan nan agung ini, cukup banyak dan bercorak ragam. Cukup kita petik beberapa di antaranya, sebagai penambah muatan motivasi yang mengangkat gairah imani kita untuk memasuki bulan Ramadhan yang akan datang menjelang, dengan penuh harap akan ampunan dan karunia-Nya.

Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah bersabda, yang artinya:
"Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan, bulan nan penuh berkah. Di bulan itu Allah akan menaungimu; menurunkan .rahmat dan menghapus dosa-dosa, mengabulkan doa dan memperhatikan bagaimana kamu sekalian saling berlomba-lomba (dalam kebaikan) pada bulan itu. Allah pun membanggakan dirimu di hadapan para malaikat-Nya. Maka perlihatkanlah (wahai kaum Muslimin) segala kebaikan pada dirimu. Sesungguhnya orang
yang celaka adalah orang yang kehilangan rahmat Allah."
(Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani).

Hadits yang lain:
"Telah dianugerahkan kepada ummatku pada bulan Ramadhan lima karunia yang tidak pernah diberikan kepada ummat manapun sebelum mereka: Aroma mulut orang yang berpuasa, disisi Allah, lebih harum semerbak ketimbang bau kesturi. Para malaikat memohonkan bagi mereka ampunan hingga waktu berbuka. Setiap hari di bulan itu, Allah menghiasi Jannah-Nya seraya ber rman kepada sang Jannah:
"Tak lama lagi, para hamba-Ku yang shalih akan dibebaskan dari beban dan kesusahan, lalu beranjak menemuimu."
Di bulan itu, para jin pembangkang dibelenggu; mereka tak dapat bebas berbuat, seperti pada bulan-bulan yang lain. Lalu, Allah mengampuni dosa- dosa mereka pada malam terakhir.
Ada sahabat yang bertanya: "Ya Rasulallah, apakah malam terakhir itu, malam Lailatul Qadar?". Beliau menjawab:
"Bukan, karena orang yang beramal akan mendapati ganjarannya, bila ia telah selesai menunaikannya." 1

Ada beberapa hadits lain yang senada dengan itu. Dua hadits di atas, dan banyak lagi
yang lainnya meliputi beberapa kesimpulan:
1. . Allah telah memberkahi bulan Ramadhan ini sebagai bulan pengampunan atas segala dosa, bagi orang yang memenuhi bulan ini dengan beragam ibadah; tetapi tidak untuk dosa-dosa beaar. Nabi bersabda:
"Barangsiapa yang beribadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan introspeksi diri, akan Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dan Salman Al-Farisi, bahwasanya Rasulullah bersabda:
"Antara shalat-shalat lima waktu; antara Jum'at dengan Jum'at; dan antara Ramadhan yang satu dengan rmadhan berikutnya; ada pengampunan dosa, bagi mereka yang menghindari dosa-dosa besar." 2
1Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Zakat: 7576, 7712, 7713, 8015, 10464 dari hadits Abu Hurairah.
2HR. Muslim dalam kitab Ath-Thaharah: 342, 343, 344.

Dosa-dosa besar hanyalah diampuni, lewat taubat tersendiri yang dilakukan seorang hamba dengan penuh penyesalan di hadapan Allah. Hanya saja sebagian ulama, di antaranya Ibnu Taimiyyah, Imam Nawawi dan lain-lain menegaskan; bahwa Ibadah Ramadhan, berikut shaum dan shalat malamnya, bila dilakukan dengan penuh keikhlasan berarti sudah mencakup taubat itu sendiri. Dan itulah yang menjadi tujuan puasa, bahkan seluruh ibadah seperti tertera dalam al-Qur'an adalah: Agar kamu sekalian bertakwa.

2. Termasuk keberkahan bulan suci Ramadhan adalah sempitnya ruang gerak setan itu untuk melancarkan godaan dan tipu dayanya terhadap bani Adam. Terbelenggunya mereka, adalah dengan kehendak Allah dan dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun juga tidak berarti mereka berhenti menggoda manusia secara total, seperti tersebut dalam hadits di atas.

3. Dihiasinya Jannah untuk menyambut kedatang an orang-orang yang berpuasa, seusai menjalani cobaan Allah selama masa hidup di dunia. Ini salah satu bentuk Tabsyir atau kabar gembira dari Allah.

4. Keberkahan bulan Ramadhan juga terungkap jelas, dengan adanya para malaikat yang memohonkan ampunan kepada Allah bagi mereka yang berpuasa. Di samping aroma mulut orang yang berpuasa yang secara lahir mungkin tidak sedap di sisi Allah lebih wangi dibanding aroma kesturi.

2 Berbagai Keutamaan Lain
Sebagai Muslim yang mengharap keutamaan dan ampunan, di mana dia juga tak lepas dari noda dan dosa, maka noda dan dosa itu dapat terkurangi bahkan terhapus lewat ibadah di bulan Ramadhan. Segala bentuk ragam ibadah di bulan ini harus semaksimal mungkin kita mefaatkan di antaranya:

2.1 Memperbanyak Shadaqah
Imam Tirmidzi meriwayatkan: Rasulullah pernah ditanya: "Sedekah apakah yang paling utama?" Beliau menjawab:"Seutama-utamanya sedekah adalah sedekah di bulan
Ramadhan." 3

Nabi adalah orang yang gemar bersedekah. Kegemarannya bersedekah, menjadi semakin
meningkat di bulan Ramadhan. Salah seorang sahabat telah berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah itu lebih pemurah, dibandingkan dengan angin yang berhembus. Dan terutama lagi di bulan Ramadhan." 4

2.2 Shalat malam berjama’ah
Dari Abu Dzar, bahwasanya beliau menuturkan: "Dahulu ketika kami melakukan shaum/puasa, Rasulullah tidak pernah shalat (malam) berjama'ah bersama kami hingga bulan Ramadhan hanya tersisa tujuh hari lagi. Lalu beliau shalat bersama kami hingga akhir sepertiga malam pertama. Pada malam yang ke dua puluh enam, beliau tak lagi shalat bersama kami. Namun pada malam ke dua puluh lima (satu malam sebelumnya), beliau sempat shalat bersama hingga pertengahan malam. Lalu kami bertanya:
"Ya Rasulallah, apakah tidak engkau sisakan sebagian malam agar kami menambah shalat sendiri?" Maka beliau bersabda: "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai shalatnya, akan dituliskan baginya (pahala) shalat semalam untuknya." 5

Hadits tersebut umumnya digunakan oleh para ulama untuk menetapkan disyari'atkannya shalat malam berjama'ah (tarawih) pada bulan Ramadhan. Namun hadits tersebut juga secara lebih khusus menyiratkan keutamaan shalat malam berjama'ah di bulan Ramadhan itu. Meskipun secara umum, juga berlaku untuk setiap shalat jama'ah, balk yang fardhu maupun yang mustahab.
3HR.Tirmidzi kitab Zakat: 599, Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan lain-lain. Imam Tirmidzi berkata: "Hadits ini gharib."
4Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Asy-Syamail al-Muhammadiyah.
5Diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 11/72-73 dan beliau berkomentar: Sanad hadits ini shahih. Juga oleh Nasai 1/238, Ibnu Majah 1/397 dan lain-lain.

Syaikh Nashiruddin al-Albani menegaskan:
Sabda beliau: "Barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam", itu jelas menunjukkan keutamaan shalat malam Ramadhan berjama'ah. Hal itu dikuatkan, dengan riwayat dari imam Abu Dawud dalam "Al-Masail" hal. 62:
Saya pernah mendengar Imam Ahmad ditanya: "Mana yang lebih menarik hatimu,orang yang shalat berjama'ah atau shalat sendiri?" Beliau menjawab: "Tentu saja orang yang shalat berjama'ah."

Beliau juga pernah ditanya: "Bagaimana kalau orang yang shalat sendiri itu mengakhirkan shalat hingga akhir malam (pada waktu yang paling utama)?" Beliau menanggapi: "Sunnah kaum Muslimin tetap lebih aku sukai." 6

2.3 Memperbanyak amalan akhirat
Bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, adalah ladang subur untuk menebarkan beragam amal shalih untuk dituai hasilnya di akhirat nanti. Dan mulai membaca al- Qur'an, memberi makan orang miskin atau memberinya sekedar makanan untuk berbuka puasa, berdoa, beristigfar, mempererat hubungan silaturrahmi dan lain-lain.

Banyak kaum Muslimin yang secara tradisi, memenuhi bulan suci ini dengan bekerja
di luar kebiasaan; demi untuk merayakan 'Iedul tri dengan mewah penuh kegemerlapan,
bahkan terkesan dipaksa-paksakan; itu jelas merugian. Di ladang pahala, kita justru menanam amalan duniawi yang lebih banyak menghasilkan kesia-siaan. Padahal telah diingatkan dalam satu hadits mauquf (hanya sampai kepada sahabat) dari Hasan bin Ali:
"Apabila engkau mendapati seseorang melomba kamu dalam urusan dunia, maka lombalah dia dalam urusan akhirat." 7

6Shalat At-Tarawih, hal. 15 - Al-Maktab Al-lslami.
7Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab "Dzammu Ad-Dunya" No. 465 (lihat Al-ljabah Al-bahiyyah, Abdulllah bin Sa'dan - Dariil'Ashimah hal. 12).

2.4 Menjalankan umrah
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya ganjaran umrah di bulan Ramadhan, sama dengan ganjaran melaksanakan haji sekali atau bahkan haji bersamaku." 8

Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim All Jarullah dalam "Majmu' Rasail
Ramadhan iyyah" menyatakan:
"Namun yang perlu dipahami, bahwa umrah di bulan Ramadhan itu, meskipun ganjarannya sama dengan ibadah haji, namun ia tidak menggugurkan kewajiban haji itu sendiri bagi mereka yang mampu berkewajiban".

2.5 Beribadah di malam Lailatul qadri
Para ulama menyatakan, bahwa malam itu disebut dengan Lailatul qadri (malam
kemuliaan), karena kemuliaan dan keutamaannya. Bahkan dinyatakan, bahwa dimalam
itu juga rizki dan ajal kematian para hamba untuk selama satu tahun ditentukan Allah.
Sebagaimana di firmankan-Nya:
"Pada malam itu dijelaskan, segala urusan yang penuh hikmat." (Ad- Dukhan: 4)
Banyak ayat yang menceritakan tentang keutamaannya yang tidak kami sebutkan di sini. Di malam itu juga pahala amal ibadah Allah lipatgandakan. Nabi Bersabda:
"Barangsiapa yang beribadah di malam Lailatul qadri, dengan penuh keimanan dan perhitungan; akan diampuni segala dosa-dosanya yang terdahulu." 9
Adapun waktu malam tersebut, banyak sekali diperselisihkan para ulama. Imam Hafidz
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam "Fathul Bari", setelah menuturkan puluhan pendapat para ulama, berkata:
"Pendapat yang paling kuat, malam itu terdapat pada sepuluh malam terakhir. Ia selalu berpindah, namun yang paling diharapkan dia akan muncul, pada malam-malam ganjil. Adapun tepatnya; menurut Sya 'iyyah pada malam ke 21 atau 23. Tapi menurut sebagian besar ulama pada malam ke 27."
8Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, kitab Al-Hajj: 1657, 1730.
9Diriwayatkan oleh Al-Bukhari/1910 dan Muslim/759 dan Tirmidzi (619) dalam kitab: Ash-Shaum.

Demikian juga pendapat syaikh al-Albani dalam "Qiyamul lail" . Para ulama sering
mengungkapkan, bahwa hikmah tersembunyinya kepastian malam itu, adalah agar kaum
Muslimin giat beribadah pada setiap malam bulan Ramadhan, Wallahu A'lam.

2.6 I’tikaf
Lepas dari perselisihan di mesjid mana i'tikaf itu disyari'atkan, kaum Muslimin tetap
harus mengakui kesepakatan para ulama bahwa i'tikaf di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir, adalah keutamaan besar sekaligus sunnah yang tak pernah
ditinggalkan Nabi seumur hidupnya hingga beliau wafat.
Dari Abu Hurairah berkata:
"Nabi dahulu beri'tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun
pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari." 10

Karena ia merupakan sunnah yang selalu dilakukan Nabi, maka kaum Musliminpun harus merentang jalan demi melaksanakannya sedapat mungkin, di mesjid manapun i'tikaf itu dilakukan. Oleh sebab itu, para ulama yang memilih pendapat bahwa i'tikaf itu hanya di tiga mesjid utama (mesjid Al-Haram, An-Nabawi dan Al-Aqsha), mereka menjadikan dalil "dilarangnya melakukan perjalanan sulit kecuali ke tiga mesjid" untuk dibolehkannya mencapai mesjid itu dengan upaya keras, karena di sana disyari'atkannya
i'tikaf, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ash-Shan'ani dalam "Subulu as-Salam".
Pendapat kedua ini termasuk yang dipilih Syaikh Muhammad Nashiruddin al-
Albani Ha dzahullahu Ta'ala seperti beliau jelaskan dalam kitabnya "Qiyamu ar Ramadhan".

Adapun bagi mereka yang berpendapat disyari'atkannya i'tikaf itu di setiap
mesjid jami', merekapun harus berusaha menghidupkan kembali sunnah Nabi
yang sudah lama ditinggalkan ini. 11
10HR. Al-Bukhari IV/245.

11Di antara para ulama yang berpendapat seperti ini:
1. Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya 11/187;
2. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1V/319, cetakan Daru Ad-Diyan;
3. Al-Imam Al-Baghwi dalam Syarhu As-Sunnah VI/494 cetakan Al-Maktab al-Islami;
4. Al-Mawardi dalam “Al-Hawi Al-Kabrr” 111/485 cetakan Daru al-Kutub al-Ilmiyyah;
5. An-Nawawi dalam “Al-Majmu”‘ VI/483 cetakan Daru al-Fikr;
6. Ibnu Qasim Ar-Ra ’i dalam Fathul Aziz V1/484;
7. Ibnu Quddamah dalam “Al-Mughni” 1V/462 cetakan Hajar Kaira Mesir dan juga dalam ‘Asy-Syarhu al-Kabir’;
8. Ibnu Dhawiyyan dalam ‘Manaru as-Sabil” 1/224 cetakan Daru al-Ma’arif;
9. Imam Syaukani dalam “Nailul Author” 1V/769 cetakan Daru al-Jiel Lebanon;
10.Sayyid Sabiq dalam Fiqhu as-Sunnah dan lain-lain.
www.abuumar.com/

Thursday, August 5, 2010

~Permasalahan Qadha-Fidyah Wanita Hamil dan Menyusui ~


Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi1 menjelaskan:

Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?

Mayoritas ulama salaf dan khalaf rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal), bahwa kewajiban puasa itu di-qadha. Kemudian, dalil menetapkan bahwa bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.

Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha, sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah. Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2:

Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.

Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajiban qadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.

Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم

“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui

Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya. Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi, seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara sanad maupun matan, karena dapat sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin Ka’bi:

لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما

“Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang pertama atau yang kedua”

Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya ‘digugurkan sebagian shalat, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Hal ini menunjukkan bahwa yang digugurkan dalam hadits bukanlah qadha-nya, dan juga bukan kewajiban melaksanakan puasanya. Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar fidyah saja tanpa qadha, ini adalah pendalilan yang lemah.

Yang benar adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf serta para imam rahimahumullah, dan juga pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha. Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Ibnu Umar2, pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara keseluruhan.

Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat, puasa dan lainnya yang termasuk ibadah badaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk meng-qadha.

Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka membayar fidyah atau tidak?
Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat -rahimahumullah- :

Pertama, wajib meng-qadha dan membayar fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.

Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja. Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum asal.

Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian kaeran beliau itu sangat wara’(hati-hati). Maka pendapat adanya tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’. Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.

Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha. Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan), sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak berhubungan). Yang muttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib fidyah.

Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.
[Sampai di sini nukilan dari Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar3]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:

“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم

‘Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”

[Maj'mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi'ah, juz 15, dinukil dari http://binbaz.org.sa/mat/476 ]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya. Beliau berkata:

“Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya.

Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:
Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.

Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha, sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah, dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga wajib membayar fidyah. Ibnu Abbas -radhiallahu’anhu- menafsirkan ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Abbas berkata:

كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا وأطعمتا” ، رواه أبو داود

‘Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)

Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar

Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung -penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahah sang ibu- , wajib baginya untuk meng-qadha”

[Dinukil dari Syarhul Mumti' Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223]

Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.

عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان

“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.

Karena tidak diketahui mana Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.

Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.

عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت

“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia melahirkan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)

Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi4 menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080). Namun terdapat penguat dari riwayat lain dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:

كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا

“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:

Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri

Kedua, mungkin Ibnu ‘Abbas memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Umar5.

Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.

Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui baik khawatir kepada dirinya, atau kepada anaknya, atau kepada keduanya, boleh tidak berpusa dan wajib meng-qadha di hari lain, tanpa fidyah. Namun bagi yang khawatir kepada anaknya, lebih afdhal jika selain qadha juga membayar fidyah. Wallahu’alam.

[Di susun oleh Yulian Purnama, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya]

—----------------------

1Beliau adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau: http://www.shankeety.net

2Syaikh Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu Umar”

3Diambil dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563 terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010

4Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/

5Penjelasan ini saya nukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010
http://kangaswad.wordpress.com/2010/08/05/permasalahan-qadha-fidyah-wanita-hamil-dan-menyusui/