CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sunday, January 23, 2011

~ Riwayat Solat Tarawih 23 Rakaat di Masa Umar al-Khathab ~


Disebutkan dalam Al-Muwaththa’ :
وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dan telah menceritakan kepada kami dari Maalik, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat". As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar" [1/478 no. 271].
Riwayat ini shahih.

Muhammad bin Yuusuf, ia adalah Ibnu ‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy Abu ‘Abdillah Al-Madaniy Al-A’raj, keponakan dari As-Saaib bin Yaziid. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan berkata : Muhammad bin Yuusuf lebih tsabt (teguh/kokoh) daripada ‘Abdurrahmaan bin Humaid dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Ammaar. Ia seorang yang pincang (kakinya), namun tsabt”. Al-Bukhaariy berkata : “Yahyaa bin Sa’iid telah memberikan sifat tsabt kepadanya”. Yahyaa bin Ma’iin mengatakan bahwa Yahyaa bin Sa’iin pernah berkata kepadanya : “Aku tidak pernah melihat seorang syaikh yang menyerupainya dalam ke-tsiqah-an”. Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, dan An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 27/49-52 no. 5715]. Periwayatan Maalik darinya juga merupakan keterangan tentang pentsiqahannya. Ibnu Syaahiin berkata : “Ia adalah anak saudara laki-laki As-Saaib bin Yaziid, seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan ‘Aliy bin Al-Madiiniy” [Taariikh Asmaa’ Ats-Tsiqaat, hal. 279 no. 1145]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah tsabt” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 911 no. 6454].

Adapun As-Saaib bin Yaziid bin Sa’iib bin Tsumaamah bin Al-Aswad Al-Kindiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia pernah berhaji dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat usianya tujuh tahun[1].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no. 4687), Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar (1/293), Al-Firyaabiy dalam Ash-Shiyaam (129/174), Ibnu Syabbah dalam Taariikh Al-Madinah (2/281), Abu Bakr An-Naisabuuriy dalam Al-Fawaaid (ق135/أ), dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (2/496); dari beberapa jalan, dari Maalik.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah (2/391-392), Al-Marwaziy dalam Qiyaamul-Lail sebagaimana dalam Fathul-Baariy (4/253-254), dan Saiid bin Manshuur sebagaimana dalam Al-Mashaabih (hal. 28-29); dari beberapa jalan, dari Muhammad bin Yuusuf.

Riwayat Maalik bin Anas di atas diselisihi oleh ‘Abdurrazzaaq sebagai berikut :
عن داود بن قيس وغيره عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد أن عمر جمع الناس في رمضان على أبي بن كعب وعلى تميم الداري على إحدى وعشرين ركعة يقرؤون بالمئين وينصرفون عند فروع الفجر
Dari Daawud bin Qais dan yang lainnya, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid : Bahwasannya ‘Umar mengumpulkan orang-orang di bulan Ramadlaan yang diimami oleh Ubay bin Ka’ab dan Tamiim Ad-Daari dengan 21 raka’at. Mereka membaca (surat-surat) Al-Mi’iin (= surat yang berjumlah lebih dari 100 ayat) dan pulang di ambang fajar” [Al-Mushannaf, 4/260-261 no. 7730].
Dhahir riwayat ini juga shahih.

Daawud bin Qais, ia adalah Al-Farraa’ Ad-Dabaagh Abu Sulaimaan Al-Qurasyiy Al-Madaniy. Asy-Syaafi’iy berkata : “Tsiqah haafidh”. Ahmad bin Hanbal berkata : “Tsiqah haafidh”. Abu Zur’ah, Abu Haatim, dan An-Nasaa’iy berkata : “Tsiqah” [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 8/439-442 no. 1781]. Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 308 no. 1817].
Dengan keberadaan riwayat ‘Abdurrazzaaq ini, sebagian orang menghukumi Muhammad bin Yuusuf mengalami idlthirab dalam periwayatan dari As-Saaib bin Yaziid. Akan tetapi ini tidak benar, sebab riwayat ‘Abdurrazzaaq mempunyai ‘illat tersembunyi.
Sebagaimana diketahui bahwa orang yang membawakan riwayat-riwayat dalam Al-Mushannaf karya ‘Abdurrazzaaq lebih dari satu orang. Dan yang meriwayatkan dalam Kitaabush-Shiyaam adalah Ishaaq bin Ibraahiim bin ‘Abbaad Ad-Dabariy[2]. Ia bukanlah seorang ahlul-hadiits. Mendengar riwayat dari ‘Abdurrazzaaq saat berumur tujuh tahun [Lisaanul-Miizaan, 2/37], yaitu pada tahun 210 H [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 13/416 no. 203]. Oleh karena itu, para ulama mengingkari banyak hadits Ad-Dabariy, karena ia telah meriwayatkan di akhir umur ‘Abdurazzaaq setelah berubah hapalannya – sebagaimana dikatakan Ibnush-Shalaah [Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy, hal. 75]. Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no. 1160]. Al-Qaadliy Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubiy mengumpulkan beberapa kekeliruan penulisan Ad-Dabariy dalam Al-Mushannaf dalam Kitaabul-Huruuf Allatii Akhtha-a fiihaa Ad-Dabariy wa Shahhafahaa fii Mushannaf ‘Abdurrazzaq [Al-Lisaan, 2/37].

Dengan data di atas, maka riwayat ‘Abdurrazzaaq ada kemungkinan mengalami tashhif (salah tulis) dari faktor Ad-Dabariy; yaitu yang seharusnya tertulis إحدى عشرة ركعة (sebelas raka’at) menjadi إحدى وعشرين ركعة (duapuluh satu).
Kalaupun ‘illat tidak dianggap, maka riwayat ‘Abdurrazzaaq adalah syaadz. Daawud bin Qais telah menyelisihi Maalik bin Anas, Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan, Muhammad bin Ishaaq, dan Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz dalam periwayatan dari Muhammad bin Yuusuf.
Oleh karena itu, yang shahih (benar) dalam periwayatan Muhammad bin Yuusuf Al-A’raj adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Maalik bin Anas rahimahullah.
Muhammad bin Yuusuf dalam periwayatan dari As-Saaib bin Yaziid di atas (riwayat Maalik bin Anas dalam Al-Muwaththa’) diselisihi oleh Yaziid bin Khushaifah sebagai berikut :
وقد أخبرنا أبو عبد الله الحسين بن محمد بن الحسين بن فنجويه الدينوري بالدامغان ثنا أحمد بن محمد بن إسحاق السني أنبأ عبد الله بن محمد بن عبد العزيز البغوي ثنا علي بن الجعد أنبأ بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة قال وكانوا يقرؤون بالمئتين وكانوا يتوكؤن على عصيهم في عهد عثمان بن عفان رضى الله تعالى عنه من شده القيام
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Husain bin Muhammad bin Al-Husain bin Fanjuwaih Ad-Diinawariy di Daamighaan : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq As-Sunniy : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Baghawiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Ja’d : Telah memberitakan Ibnu Abi Dzi’b, dari Yaziid bin Khushaifah, dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Mereka berdiri (shalat) di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ta’ala ‘anhu di bulan Ramadlaan sebanyak duapuluh raka’at”. As-Saaib berkata : “Mereka membaca dua ratus ayat hingga bersandar dengan tongkat-tongkat mereka di jaman ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ta’ala ‘anhu karena lamanya berdiri” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 2/496].
Dhahir riwayat ini shahih.

Abu ‘Abdillah Al-Husain bin ‘Abd bin Shaalih bin Syu’aib bin Fanjuwaih Ats-Tsaqafiy Abu ‘Abdillah Ad-Diinawariy; seorang yang tsiqah, shaduuq, dan banyak mempunyai riwayat [lihat : Syuyuukh Al-Baihaqiy no. 48].
Ahmad bin Muhammad bin Ishaaq As-Sunniy, ia lebih dikenal dengan nama Ibnus-Sunniy pengarang kitab ‘Amalul-Yaum wal-Lailah; seorang haafidh yang tsiqah [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/255-257 no. 178].
‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Baghawiy; seorang haafidh lagi tsiqah [lihat : Tadzkiratul-Huffadh, 2/737].
‘Aliy bin Ja’d bin ‘Ubaid Al-Jauhariy; seorang yang tsiqah lagi tsabat [Taqriibut-Tahdziib, hal. 691 no. 4732].
Ibnu Abi Dzi’b, ia adalah Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Al-Mughiirah bin Al-Haarits bin Abi Dzi’b Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy Abul-Haarits Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil [idem, hal. 871 no. 6122].
Yaziid bin ‘Abdillah bin Khushaifah bin ‘Abdillah bin Yaziid Al-Kindiy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 1077 no. 7789]. Akan tetapi Ahmad dalam satu riwayat berkata tentangnya : “Munkarul-hadiits” [Mausu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad, 4/152 no. 3547 dan Tahdziibul-Kamaal 32/173].

Riwayat ini juga ma’lul, dari sisi Yaziid bin Khushaifah. Perkataan munkarul-hadiits dari Ahmad terhadapnya bermakna (sebagaimana diterangkan Ibnu Hajar dalam Hadyus-Saariy) : ia menyendiri/asing (ghariib) dalam periwayatan hadits dari aqran-nya.
Dalam hal ini, ia (Yaziid) menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dalam periwayatan dari As-Saaib bin Yaziid, yaitu Muhammad bin Yuusuf. Muhammad bin Yuusuf adalah perawi yang berpredikat tsiqah tsabat, sedangkan Yaziid bin Khushaifah hanya berpredikat tsiqah saja. Ini termasuk jenis gharabah yang dimaksudkan oleh Ahmad di atas.

Penyelisihan ini dalam bentuk perbedaan periwayatan antara sebelas raka’at dengan dua puluh raka’at. Yaziid mengkhabarkan bahwa di jaman ‘Umar, orang-orang shalat sebanyak duapuluh raka’at; sedangkan pada riwayat Muhammad bin Yuusuf mengkhabarkan bahwa orang-orang shalat di belakang Ubay bin Ka’b dan Tamiim Ad-Daariy sebanyak sebelas raka’at. Yang terakhir inilah yang mahfudh yang terjadi di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagaimana diriwayatkan oleh As-Saaib bin Yaziid radliyallaahu ‘anhumaa.
Dikatakan bahwa riwayat Yaziid bin Khushaifah ini dikuatkan oleh Al-Haarits bin ‘Abdirrahmaan bin Abi Dzubaab [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 4/261-262 no. 7733].[3] Akan tetapi riwayat itu sangat lemah, karena faktor Al-Aslamiy. Ia adalah Ibraahiim bin Muhammad bin Abi Yahyaa Al-Aslamiy; seorang yang matruuk [At-Taqriib, hal. 115 no. 243].
Ada riwayat lain yang menceritakan taraawih di jaman ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu :
وحدثني عن مالك عن يزيد بن رومان أنه قال كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
Dan telah menceritakan kepadaku dari Maalik, dari Yaziid bin Ruumaan, bahwasannya ia berkata : “Orang-orang menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadlan pada masa ‘Umar bin Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebanyak duapuluh tiga raka’at” [Al-Muwaththa’ 1/479 no. 272].

Yaziid bin Ruumaan – meskipun ia tsiqah [At-Taqriib, hal. 1074 no. 7763] – namun ia tidak pernah menemui masa ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu, sehingga riwayat ini munqathi’ (terputus) lagi dla’iif (lemah).
Riwayat Yaziid bin Ruumaan ini tidak bisa menguatkan riwayat Yaziid bin Khushaifah, karena ia adalah riwayat syaadz. Telah dimaklumi dalam kaedah-kaedah ilmu hadits bahwa sebuah riwayat syaadz tidak bisa terangkat kedudukannya dengan keberadaan syawaahid.

Kesimpulan : Shalat taraawih di jaman Khalifah ‘Umar bin Al-Khaththaab dan yang beliau perintahkan adalah sebelas raka’at. Tidak sah riwayat yang menyatakan duapuluh, duapuluh satu, atau duapuluh tiga raka’at.
Al-Aajuriiy berkata :
من أصحابنا عن مالك أنه قال : الذي جمع عليه الناس عمر بن الخطاب أحب إلي وهو إحدى عشرة ركعة وهي صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم....
Dari shahabat kami, dari Maalik, ia berkata : “(Shalat) dimana ‘Umar mengumpulkan orang-orang lebih aku senangi, yaitu sebanyak sebelas raka’at. Ia adalah shalat yang pernah dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam….” [Al-Mashaabih, hal. 32].
Wallaahu a’lam.

Bahan bacaan :
a. Kasyfush-Shariih ‘an Aghlaathish-Shaabuuniy fii Shalaatit-Taraawih oleh ‘Aliy Al-Halabiy; Maktabah Ash-Shahaabah, Cet. 1/1413 H.
b. Al-Mashaabih fii Shalaatit-Taraawih oleh As-Suyuthiy, tahqiq & takhrij & ta’liq : ‘Aliy Al-Halabiy – ebook (http://www.kulalsalafiyeen.net).
c. Shifatu Shamin-Nabiy oleh Saliim Al-Hilaliy dan ‘Aliy Al-Halabiy; Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, Cet. 2/1409 H.
[abu al-jauzaa’ – 21-08-2010 – perumahan ciomas permai].

[1] Sebagaimana riwayat :
حدثنا المقدام بن داود ثنا أسد بن موسى (ح) وثنا موسى بن هارون ثنا قتيبة بن سعيد ثنا حاتم بن إسماعيل عن محمد بن يوسف عن السائب بن يزيد قال : حج بي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع وأنا ابن سبع سنين.
Telah menceritakan kepada kami Al-Miqdaam bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Asad bin Muusaa. Dan telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Haaruun : Telahmenceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Muhammad bin Yuusuf, dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Aku pernah berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam haji wadaa’ dimana saat itu aku berusia tujuh tahun” [Diriwayatkan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir, 7/185 no. 6678; shahih].

[2] Al-Mushannaf, 4/153 : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’iid Ahmad bin Muhammad bin Ziyaad Al-A’rabiy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim bin ‘Abbaad Ad-Dabariy, ia berkata : Kami membaca di hadapan ‘Abdurrazzaaq……. dst.

[3] Sebagaimana tertulis di sebuah artikel majalah kesayangan kita : As-Sunnah, Edisi 07/VII/1424 H/2003 M, hal. 30.

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/riwayat-shalat-taraawih-23-rakaat-di.html

Thursday, January 13, 2011

~ Tata Cara Solat Malam dan Witir Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ~


Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.

Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.

Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)

Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:

« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ »

“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)

Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.

Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:

“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)

Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi – pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari – pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:

« مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »

“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”

Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ’sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)

Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.

Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.

Tata Cara Shalat Malam

Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.

Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.
Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
Kemudian shalat witir 1 rakaat.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.
Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)

Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)

“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)

Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:

Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.
Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ

“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)

Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.

Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.

Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.

Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)

Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”
Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!

Doa Qunut dalam Shalat Witir

Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)

يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ

“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)

Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.

Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:

« الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ »


Maraji’:
Shohih Muslim
Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albanyrahimahullah
Sifat Tarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M
Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.
Timika, 3 Ramadhan 1428 H
--------------
Penulis: R. Handanawirya (Alumni Ma’had Ilmi)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar [muslim.or.id]