CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Saturday, May 29, 2010

~ Kumpulan Fatwa Ramadhan - Muslimah 02 ~


1. Qodho (Mengganti) Puasa yang Tertunda
Soal:
Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:
Wajib bagimu melakukan tiga perkara:
Pertama:
Taubat kepada Allah Ta’ala dari kesalahan ini (menunda-nunda qodho’ puasa) serta menyesali perbuatan ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“…Dan bertaubatlah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.”
(QS. an-Nur [24]:31)
Sedangkan menunda kewajiban ini adalah maksiat dan bertaubat kepada Allah Ta’ala adalah wajib.

Kedua: Segera berpuasa sesuai dengan yang diyakini, karena Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Karenanya, yang engkau yakini bahwasannya engkau meninggalkan hari-hari yang menjadi tanggunganmu, itulah yang engkau bayar. Apabila kamu meyakini sepuluh hari, maka hendaklah puasa sepuluh hari, dan jika engkau meyakini bahwasannya itu lebih atau kurang, maka hendaklah engkau berpuasa sesuai dengan keyakinanmu itu. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak membebani hamba kecuali dengan kesanggupannya…”
(Qs. al-Baqarah [2]:286) dan firman Allah Ta’ala:

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian…” (Qs. at-Taghabun [64]:6)

Ketiga: Memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya jikalau engkau mampu melakukannya dengan memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Adapun jika engkau tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun bagimu selain puasa dan taubat. Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)

2. Tidak Membayar Puasa Karena Melahirkan
Soal:
35 tahun yang lalu, saya melahirkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dua tahun berikutnya, saya melahirkan pada bulan Ramadhan juga, dan saya tidak berpuasa melainkan hanya 10 hari. Dan sekarang saya seorang wanita yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:
Apabila engkau telah sembuh, wajib bagimu berpuaswa pada hari yang engkau tinggalkan, baik pada Ramadhan pertama atau yang kedua disertai memberi makan kepada fakir miskin pada setiap harinya (jika engkau memang meremehkan permasalahan membayar puasa ini, padahal engkau mampu).

Adapun kewajiban memberi makan fakir miskin untuk setiap harinya ½ sha’ berupa kurma atau beras dari makanan pokok suatu daerah atau 1½ kg dengan timbangan, dengan memberikannya kepada fakir miskin baik satu ataupun dua orang ataupun keluarga fakir miskin. Itu semua cukup bagimu, disertai dengan berpuasa dan bertaubat.

Adapun jika engkau menunda qodho’ Ramadhan karena sakit tanpa disertai unsur peremehan, maka wajib bagimu membayar puasa yang engkau tinggalkan itu dan tidak ada kewajiban memberi makan fakir miskin dikarenakan engkau mendapatkan udzur syar’i, berdasarkan firman Allah:
“…Barangsiapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh, hendaklah mengganti pada hari-hari yang lain…” (Qs. al-Baqarah [2]:85)

3. Berpuasa Setelah Suci dari Nifas
Soal:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?

Jawab:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.

Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama. Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.
(Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz)

4. Tidak Mampu Meng-qadha Puasa
Soal:
Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan yang lalu dan karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?

Jawab:
Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185)

Dan anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang sakit serta bagi orang sedang dalam perjalanan (musafir). Dan Allah Subhananhu wa Ta’ala suka jika rukhshah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.”
(Fatawa ash-Shiyam)

Maraji’:
1.Majalah Al Furqon Edisi 4 Dzul Qo’dah 1427 H
2.Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun V 1426 H
3.Majalah Nikah edisi khusus, Volume 3 tahun 2004
4.Majalah Nikah edisi kusus, Volume 4 no. 7 tahun 2005
***
Dipublikasikan oleh www.muslimah.or.id

Friday, May 28, 2010

~ Adab Sesudah Eid ~


Hari-hari penuh barakah dan rahmat telah berlalu, malam-malam penuh ampunan dan maghfirah telah berpisah, embun-embun di lailatul qadar ikut meninggalkan kita, yang tersisa adalah sebongkah do'a di kalbu, semoga kita dipertemukan kembali dengan Ramadhan tahun depan, Amin.

Alhamdulillah, kita telah mendapat kesempatan berlatih dan digembleng di bulan suci dengan tempaan berbagai amal kebajikan dan menjauhkan diri dari setiap keburukan dan kenistaan. Kesempatan untuk mengikuti penggemblengan ini merupakan nikmat yang paling agung bagi umat Islam, karena mereka diseru untuk menapaki tangga-tangga amal kebajikan menuju derajat tertinggi di sisi-Nya yaitu derajat taqwa. Segala puji hanyalah bagi-Nya, marilah kita bersyukur dengan hakikat syukur yang sesungguhnya, sehingga harapan dan do'a kita terkabulkan, nikmat dan karunia bagi kita Dia Ta'ala tingkatkan, dengan bulan suci tahun depan kita dipertemukan kembali.

Mensyukuri Nikmat Puasa
Sebulan penuh kita dilatih menahan hawa nafsu, Alhamdulillah, dengan pertolongan-Nya kita telah mampu, sehingga kita selamat dari dorongan syahwat yang jahat, bahkan puasa dapat mengarahkan kita ke dalam ibadah dan taat, sungguh kenikmatan yang berupa kekuatan dan benteng yang melindungi diri kita ini harus kita rawat, kita jaga jangan sampai rusak, apalagi kita campakkan percuma. Kita jaga perisai taqwa ini dengan melaksanakan setiap perintah agama sekuat tenaga kita, dan menjauhkan diri kita dari setiap kemaksiatan, serta menambahkan amalan-amalan sunnah dengan sebaik-baiknya, seperti: shalat-shalat sunnah, puasa-puasa sunnah, bershadaqah, dan menjauhi perbuatan-perbuatan makruh, atau kegiatan yang kurang bermanfaat. Dengan berbuat ihsan, insya-Allah benteng taqwa kita tetap dijaga oleh Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya, artinya,

"Sesungguhnya Allah Ta'ala beserta orang- orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. An-Nahl: 128)

Mensyukuri Ibadah Qiyamullail
Kenikmatan shalat malam di bulan suci Ramadhan telah dirasakan oleh kaum muslimin. Rasulullah n menjanjikan ampunan dari Allah Ta'ala bagi mukminin yang mendirikannya, asal menepati satu syarat yaitu betul-betul hanya mengharap pahala dari sisi-Nya.
Kenikmatan dan ampunan itu haruslah terus kita pelihara dengan tetap menjaga malam-malam kita sepanjang tahun dengan amal-amal kebajikan, terutama dengan bacaan Al-Qur'an, dzikir, do'a, istighfar juga shalat malam, terlebih khusus lagi adalah dengan shalat witir, sesungguhnya kenikmatan dan janji ampunan itu tetap dijamin oleh Allah Ta'ala di setiap penghujung malam di luar bulan Ramadhan sekalipun.

Mensyukuri Pelatihan Kesabaran
Ibadah puasa yang telah melatih diri kita dengan kesabaran adalah karunia yang amat agung untuk kita muliakan. Maka wajib kita bersyukur kepada Allah Ta'ala dengan cara menjaga dan menggunakan kesabaran itu dengan sebaik-baiknya, sebab ujian dan cobaan dari Allah Ta'ala tidak hanya diturunkan oleh Allah Allah Ta'ala di bulan Ramadhan saja, akan tetapi kapan saja Dia berkehendak sebagai bukti kecintaan kepada hamba-Nya yang mukmin. Allah Ta'ala telah berfirman, artinya,

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah Ta'ala ". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah Ta'ala itu amat dekat." (QS. Al-Baqarah: 214)

Tanpa kesabaran, cita-cita yang termulia sekalipun tidak akan dapat tercapai. Selain do'a dan shalat, kesabaran adalah senjata utama hamba mukmin dalam mengarungi badai dan gelombang ujian demi ujian dengan teguh, selamat dan jaya, insya-Allah. Allah Ta'ala berfirman, artinya,

"Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah Ta'ala beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153 )

Mensyukuri Pelatihan Kejujuran, Kedisiplinan, Ketaatan, dan Keikhlasan
Allah Ta'ala berfirman dalam hadist qudsi, "Mereka meninggalkan makan, minum, dan syahwat karena Aku." Itulah pengakuan Allah Ta'ala atas puasa kita, wahai kaum mukminin yang dimuliakan oleh Allah Ta'ala ! Dengan pengakuan Allah Ta'ala dan Taufiq-Nya, sebulan penuh kita telah berbuat jujur dan taat menahan dorongan nafsu yang halal maupun yang jahat, untuk kita tekan dan paksakan memenuhi perintah dan aturan Allah Rabbul alamin, dengan iman dan hanya mengharap balasan dari-Nya semata (ikhlas dan muhtasabah).

Maka kelulusan dan gelar disiplin, taat, jujur dan ikhlas itu, wajib kita pertahankan, sebab bila tidak, syaithon akan merebut dan merusaknya, dengan cara menghiasi amal-amal baik kita dengan sifat kemunafikan, riya, pamer, sum'ah, gila pujian, dan perbuatan syirik. Itulah senjata yang mereka bidikkan di hati manusia, sehingga amal ibadah mereka tertolak di sisi Allah Ta'ala . ( fana'udzubillah)

Atau bila sifat jujur, disiplin, taat, dan ikhlas itu telah hilang dari jiwa kita, maka jiwa kita telah keluar dari lindungan Allah l dan pindah kepada perlindungan syaithon, maka sangat mudah bagi kita untuk berbuat maksiat, zhalim, curang, jahat, munafiq, penakut, dendam, sombong, dengki, rakus, dan segala perbuatan serta sifat buruk dan hina lainnya, dan itulah seburuk-buruk makhluq di muka bumi.

Untuk mempertahankan gelar dan kedudukan ketaatan, jujur, dan keikhlasan itu, kita harus terus menjaga iman kita, memperbaharuinya, memupuk dengan amal sholeh, dan menyiraminya dengan air murni keikhlasan dan khasyyah (perasaan takut). (Lihat firman Allah Ta'ala QS. Al-Bayyinah: 7-8). Itulah sebaik-baik makhluq yang diakui oleh Allah Ta'ala , mereka akan datang menghadap Allah Ta'ala dengan hati yang bersih. Sebagaimana firman-Nya, artinya,

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah Ta'ala dengan hati yang bersih." (QS. Asy-Syu'araa': 88-89)

Mensyukuri Ni'matnya Tilawatil Qur'an
Di bulan Ramadhan Rasulullah n bersama malaikat Jibril p bermudarasah Al-Qur'an. Dari sana beliau n mendapatkan tambahan keteguhan jiwa, kekuatan hafalan, serta urutan tertib ayat-ayat dan surat-surat Al-Qur'an. Kaum mukminin menemukan kekuatan, keteguhan, jalan lurus yang terang benderang, petunjuk hidup yang menyelamat-kan, obat jiwa, penjelas dari petunjuk serta pembeda antara yang hak dan yang bathil, serta kenikmatan berdialog bersama Rabbil 'alamin, menimbun barokah, menambah keteguhan iman, serta cermin rona jiwa adalah dari tilawah, tadarus, dan tadabbur ayat-ayat Al-Qur'an. Firman Allah Ta'ala artinya,

"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. 38 Shad: 29). Silakan periksa juga surat Yunus 57-58 dan surat Al-Baqarah 185.

Amirul mukminin Umar bin Al-Khoththob radhiallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya dengan kitab suci ini satu kaum (mukminin) akan diangkat Allah Ta'ala dan dengan kitab suci ini pula satu kaum (kafir) akan dihinakan Allah Ta'ala .”

Maka sangat tepat sekali bila kebangkitan umat ini adalah dengan caranya yang utama yaitu kembali dengan benar bertilawah, tadarrus Al-Qur'an, dan tadabbur, serta ikhlas mengamalkannya dengan bersungguh-sungguh sejak bulan suci Ramadhan terus sepanjang tahun sampai bertemu kembali ke dalam bulan suci ini, menjadikan mereka sahabat setia Al-Qur'an, maka Al-Qur'an pun akan menolong mereka menjadi syafaat bagi mereka di akhirat kelak.

Mensyukuri Nikmat Bershadaqah
Karena mengharap barokah di bulan suci, kaum mukminin menjadi orang yang lebih dermawan, sangat pemurah di bulan Ramadhan, kenikmatan itu harus kita pertahankan, kita lestarikan sepanjang tahun bahkan sampai akhir hayat kita, sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Shadaqah itu adalah bukti .” (HR. Muslim)

Bukti iman di dalam jiwa orang beriman, di akhirat kelak sebagai bukti bahwa hartanya telah dibelanjakan dengan benar, bukti bahwa cintanya bukan kepada harta, dunia, dan seisinya, bukti seorang beriman menyukai sifat zuhud, itulah bukti bahwa Allah Ta'ala dan segenap makhluq mencintainya karena sifat zuhudnya. Rasulullah n bersabada, "Zuhudlah kamu dalam urusan dunia, maka Allah Ta'ala akan mencintaimu, dan zuhudlah dari apa yang ada di sisi manusia, maka mereka akan mencintaimu." (HR. Muslim)

Mensyukuri Ni'mat Berdo'a, Berdzikir, dan Beristighfar
Karunia yang amat agung bila hamba telah mendapat taufiq untuk senantiasa berdzikir, berdo'a, dan istighfar lalu Allah Ta'ala mengampuninya dan menganugerahkan taubat nasuha. Seorang badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang amalan yang utama, Rasulullah menjawab, "Engkau meninggalkan dunia, sedang lisanmu senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla ." (Musnad Ibnu Ja'd 1: 492)

Siapa yang membiasakan beristighfar, maka Allah Ta'ala menjadikan baginya pada setiap kesempitan jalan keluar dan dari setiap kesedihan (Allah Ta'ala jadikan) suatu kegembiraan dan Dia Ta'ala memberinya rizqi dari arah yang dia tidak menyangka-nyangka." (HR. Abu Daud dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu).
Sungguh jaminan ini terus berlaku sepanjang tahun bagi mukminin yang ikhlas dalam istighfar dan do'anya. Allah Ta'ala berfirman, artinya, "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagi kalian." (QS. Ghafir: 60)

Mensyukuri nikmat ber'iktikaf memburu Lailatul Qadar
Ber'iktikaf telah melatih kaum mukminin untuk memusatkan hidup kepada Allah Ta'ala dengan dzikir dan ibadah, sepenuhnya di masjid, seraya memutuskan hubungan diri dengan dunia, mempersiapkan diri menemui Rabbul 'Alamin dengan hati yang bersih, dengan jiwa yang suci tulus dalam ketaatan kepada Allah Yang Maha Besar.

Menuju puncak derajat tertinggi di sisi Allah Ta'ala yaitu derajat muttaqin, dengan memperbanyak dan mengutamakan istighfar, menyucikan diri dari dosa dan noda, mengharap ampunan dan ridha dari Allah Ta'ala , serta anugerah taubat dari-Nya, itulah cita harapan kaum mukminin yang termulia, sehingga nilai dunia tiada menjadi tujuan utamanya, maka mereka meninggalkan kecintaan dunia yang amat hina.

Mereka menjadikan diri mereka sebagai musafir dalam perjalanan panjang ke alam Akhirat yang sedang berteduh di bawah naungan pohon dunia, maka bekal mereka adalah kewaspadaan, taqwa, bersungguh-sungguh melaksanakan ketaatan dan bersungguh-sungguh menghindari kemaksiatan, bersungguh-sungguh mengharap keridhoan Allah Ta'ala dan bersungguh-sungguh pula memohon ampunan-Nya.

Itulah derajat yang tertinggi, itulah nasib yang paling menguntungkan. Itulah jalan kebahagiaan. Itulah hidayah yang telah diajarkan oleh Pemimpin Agung umat manusia, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. (Waznin Mahfudz)

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=401

~ Kumpulan Fatwa Ramadhan - Muslimah 01 ~


1. Soal: Bagaimana hukumnya wanita memakai obat pencegah haidh di bulan Ramadhan?

Jawab: Wanita yang memakai obat pencegah haidh, apabila tidak membahayakan dirinya ditinjau dari sisi medis, maka tidaklah mengapa dengan syarat ia tetap meminta izin kepada suaminya. Yang aku (Syaikh Ibn Utsaimin) ketahui, obat-obat semacam ini membahayakan wanita, karena haidh merupakan darah yang keluar secara alami. Apabila dicegah pada waktunya maka akan membahayakan tubuh. Kemudian perlu diperhatikan pula, obat-obat semacam ini menjadikan kebiasaan para wanita menjadi tidak teratur, akibatnya mereka akan bimbang dan ragu (apakah mereka telah suci atau belum -red) ketika shalat atau saat bersenggama dengan suaminya.

Oleh karena itu, aku tidak mengatakan itu haram, hanya aku tidak menganjurkannya. Selayaknya bagi para wanita untuk ridha menerima takdir yang Allah takdirkan. Dikisahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Aisyah radhiallahu ‘anha sedang menangis pada waktu haji Wada’. Saat itu Aisyah radhiallahu ‘anha sudah mengenakan pakaian ihram. Rasulullah shalallahu’alaihi wa salam bertanya,

“Ada apa denganmu wahai Aisyah? Apakah engkau haidh?”
Aisyah radhiallahu’anha menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati, “Yang demikian itu adalah sesuatu yang Allah telah tetapkan bagi para wanita.”

Maka, selayakanya bagi para wanita untuk bersabar dan mencari pahala dari Allah ketika meninggalkan shalat dan puasa karena haidh. Sesungguhnya, pintu dzikir terbuka luas, ia bisa berdzikir, bertasbih, shadaqah, berlaku baik kepada manusia dengan perkataan maupun perbuatan dan ini adalah amalan yang paling utama.
(Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/304, lihat pula fatw Lajnah Da’imah 5/400)

2. Soal: Syaikh Utsaimin ditanya: “Bolehkah orang yang sedang puasa Ramadhan memeluk dan mencumbui istrinya di atas ranjang?”

Jawab:
Ya, boleh. Selama puasa dibolehkan seorang suami mencium dan mencumbui istrinya, baik di bulan Ramadhan maupun bukan. Akan tetapi jika hal itu menyebabkan ia mengeluarkan air mani, maka puasanya menjadi batal. Dia harus tetap meneruskan pantangan makannya serta wajib mengqadha (mengganti) puasa hari itu. Jika hal tersebut terjadi bukan pada bulan Ramadhan (ketika puasa sunnah) maka ia tidak perlu meneruskan puasanya, tetapi puasanya tetap batal. Namun jika itu puasa wajib, diharuskan mengqadha puasa tersebut.

3. Sucinya Wanita Setelah Shubuh.
Jika keluarnya darah berhenti ketika terbit fajar atau sesaat setelah terbit fajar, maka puasanya sah dan berarti telah melaksanakan kewajiban tersebut, walaupun baru mandi besar setelah lewat subuh. Tetapi jika baru berhenti setelah lewat subuh, maka harus berpuasa pada hari itu, tapi tidak dianggap telah menyelesaikan kewajiban ibadah puasanya, dan harus mengqadha’ hari tersebut di luar Ramadhan.
(Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Ibnu Jibrin)

Dipublikasikan oleh www.muslimah.or.id

~ Lailatul Qadar dan I’tikaf ~


Segala puji bagi Allah atas berbagai macam nikmat yang Allah berikan. Shalawat dan salam atas suri tauladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarganya dan para pengikutnya.

Bersemangatlah di Sepuluh Hari Terakhir Bulan Ramadhan

Para pembaca -yang semoga dimudahkan Allah untuk melakukan ketaatan-. Perlu diketahui bahwa sepertiga terakhir bulan Ramadhan adalah saat-saat yang penuh dengan kebaikan dan keutamaan serta pahala yang melimpah. Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Oleh karena itu suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- dahulu bersungguh-sungguh untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir tersebut dengan berbagai amalan melebihi waktu-waktu lainnya.

Sebagaimana istri beliau -Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha- berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’, pen), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Maka perhatikanlah apa yang dilakukan oleh suri tauladan kita! Lihatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah malah mengisi hari-hari terakir Ramadhan dengan berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan untuk persiapan lebaran (hari raya). Yang beliau lakukan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, dzikir, sedekah dan lain sebagainya. Renungkanlah hal ini!

Keutamaan Lailatul Qadar

Saudaraku, pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 3-4)

Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1)

Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar [97] : 3-5)

Catatan: Perhatikanlah bahwa malam keberkahan tersebut adalah lailatul qadar. Dan Al Qur’an turun pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah Ta’ala,

شَهْرُ رَمَضَانَ الذي أُنْزِلَ فِيهِ القرآن

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)

Maka sungguh sangat keliru yang beranggapan bahwasanya Al Qur’an itu turun pada pertengahan bulan Sya’ban atau pada 17 Ramadhan lalu diperingati dengan hari NUZULUL QUR’AN. Padahal Al Qur’an itu turun pada lailatul qadar. Dan lailatul qadar -sebagaimana pada penjelasan selanjutnya- terjadi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Renungkanlah hal ini!

Kapan Malam Lailatul Qadar Terjadi ?

Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari)

Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)

Dan yang memilih pendapat bahwa lailatul qadar adalah malam kedua puluh tujuh sebagaimana ditegaskan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari bahwa lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى

“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari)

Catatan: Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak. Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini. Amin Ya Sami’ad Da’awat.

Do’a di Malam Lailatul Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita -Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى »

“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (artinya ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shohihah)

Tanda Malam Lailatul Qadar

[1] Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء

“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh/terpercaya)

[2] Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.

[3] Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.

[4] Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/149-150)

I’tikaf dan Pensyari’atannya

Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan) untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf selama 20 hari. (HR. Bukhari)

Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab Lisanul Arab, i’tikaf bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)

Dan paling utama adalah beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)

I’tikaf Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja

I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)

Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.

Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)

Wanita Juga Boleh Beri’tikaf

Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim)

Namun wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)

Waktu Minimal Lamanya I’tikaf

I’tikaf tidak disyaratkan dengan puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tunaikan nadzarmu.” Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan jika beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.

Yang Membatalkan I’tikaf

Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)

Perbanyaklah dan sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber Rujukan:
1.Shohih Fiqh Sunnah II
2.Majalis Syahri Ramadhan
3.Adwa’ul Bayan

Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Abu Sa’ad, M.A.

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/lailatul-qadar-dan-itikaf.html

Thursday, May 27, 2010

~ Kebahagiaan Bersama Iedul Fithri ~


Pendahuluan
Dari Anas radhiyallah 'anhu , sesungguhnya Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :"Dulu kalian semua mempunyai dua hari (raya) yang kalian semua bermain-main pada kedua hari tersebut, dan Allah telah memberi ganti untuk kalian semua dengan dua hari raya yang lebih baik dari kedua hari tersebut yaitu hari Idul Fitri dan hari Idul Adha" (HR. Abu Daud dan An-Nasa'i).

Ied merupakan salah satu syi'ar dari sekian banyak syiar-syiar Islam dan merupakan sebuah momen yang agung, namun terkadang sebagian orang menganggap remeh masalah ini bahkan terhadap perayaan-perayaan model baru mereka justru lebih mengedepankan dan menganggap sebagi suatu yang amat penting.

Anda bisa memperhatikan diantara mereka begitu bersemangat mempersiapkan pesta ulang tahun, perayaan hari ibu atau perayaan-perayaan lain dengan begitu meriah . Mereka merayakan hari itu tentunya dengan mengeluarkan biaya yang tidak kecil. Akan tetapi terhadap hari raya Islam mereka kurang begitu perhatian dan ia biarkan lewat begitu saja tanpa mau menoleh kepadanya.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati" ( Al- Hajj : 32).

Untuk itu, wahai kaum muslimin, mari kita mencoba memperhatikan sedikit renungan, adab-adab dan hukum yang berkaitan dengan Ied ini.

Adab dan Hukum

Pertama: Hendaknya Anda memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberi kekuatan untuk melewati Ramadhan sampai selesai dan menjadikan Anda termasuk orang yang shiyam (puasa) dan qiyam (shalat tarawih), juga memperbanyak doa agar puasa dan tarawih yang anda kerjakan di terima Allah serta mengampuni segala kekurangan dan kesalahan Anda.

Kedua: Bertakbir. Takbir ini di syariatkan sejak terbenam matahari pada malam Ied hingga menjelang shalat Ied.

Firman Allah, artinya, "Dan hendaklah kamu mengagung-kan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Al-Baqarah: 185).

Disunahkan bagi laki-laki menjaharkan takbir ini, baik itu di Masjid-masjid, rumah-rumah ataupun di pasar untuk mengumandangkan keagungan Allah, serta untuk tanda penghambaan dan syukur kepada-Nya.

Ketiga: Membayar Zakat Fithrah. Bentuknya berupa satu Sha (2¼ Kg) makanan pokok (gandum, kurma, keju, beras, dan sebagainya). Kewajiban ini untuk seluruh kalangan kaum muslimin, tua-muda, laki-laki–perempuan, merdeka-budak, bahkan juga di sunnahkan membayarnya untuk seorang janin dalam kandungan. Waktu pembayaran yang paling afdal adalah malam Ied sampai sebelum shalat Ied, namun dibolehkan juga sehari atau dua hari sebelumnya.

Keempat: Mandi, memakai wangi-wangian bagi laki-laki, dan mengenakan pakaian yang paling bagus. Tentunya tidak boleh berlebihan dalam hal ini, bagi laki-laki tidak boleh memanjangkan sarung, celana atau jubahnya sampai menutupi mata kaki, dan di larang mencukur jenggot. Bagi wanita hendaknya ketika keluar menuju tanah lapang (Mushalla) tidak bertabarruj dengan dandanan menyimpang atau membuka aurat dan hendaknya jangan memakai wewangian.

Kelima: Makan kurma dalam jumlah ganjil, tiga atau lima biji sebelum pergi ke Mushalla (lapangan), hal ini sebagaimana yang dikerjakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Keenam: Shalat Ied bersama-sama dengan kaum muslimin dan mendengarkan khutbah. Berdasarkan penelitian sebagaian ahli ilmu di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan yang lain bahwa shalat Ied itu hukumnya wajib dan tidak bisa gugur keculai dengan udzur (alasan yang kuat). Para wanita yang sedang haid sekalipun hendaknya ikut menghadiri acara ini meskipun tidak mengerjakan shalat dan sebaiknya tidak bergabung dengan para jamaah di tempat shalat.

Ketujuh: Melewati jalan yang berbeda ketika berangkat menuju shalat Ied dan takala pulangnya, sebagaimana yang di contohkan oleh Nabi.

Kedelepan: Dibolehkan mengucapkan selamat Idul Fitri, atau mengucapkan:
"Semoga Allah menerima (amalan) kami dan amalan Anda."

Beberapa hal yang hendaknya diperhatikan

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan Ied yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, padahal sama sekali tidak dianjurkan, atau merupakan kesia-siaan dan bahkan bisa jadi itu adalah penyimpangan diantaranya adalah:

Bertakbir dengan cara dan kalimat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Punya keyakinan disyariatkannya menghidupkan malam Ied (dengan ibadah/dzikir-dzikir khusus) yang tidak pernah di contohkan.

Mengkhusukan hari Ied untuk ziarah kubur, dan mengucapkan salam untuk orang-orang yang sudah meninggal.

Ikhtilath (bercampur baur) antara pria dan wanita baik itu di tempat shalat, di jalanan, atau di tempat rekreasi.

Sebagian orang memperingati Ied ini dengan festival musik, ini merupakan kesia-siaan dan tidak di perbolehkan.

Menampakkan rasa gembira atas tibanya hari raya Ied dengan alasan karena telah selesai dari bulan Ramadhan, dan terbebas dari macam-macam ibadah. Ia berangapan seolah-olah Ramadhan adalah beban yang sangat berat dan ini merupakan bahaya besar yang harus di hindari.

Tenggelam dalam hal-hal yang mubah, misalnya berlebih-lebihan di dalam pakaian, makanan dan hidangan hingga sampai tingkat Israaf (berlebihan). Padahal Allah sudah berfirman, artinya "Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Al-A'raf: 31).

Wahai saudaraku, janganlah Anda lupa bahwa Rabb bulan Ramadhan adalah Rabb keseluruhan bulan-bulan yang lain, maka teruslah Anda dalam ketaatan dan mohonlah kepada Allah agar memberi ketetapan untuk berada di atas agama ini sehingga Anda menjumpaiNya. Ied bukanlah penu-tupan dari berbagai ibadah dan ketaatan, sebagaimana yang dipahami oleh sebagaian orang. Berkata Al-Hasan: "Orang-orang sering enggan untuk rutin dalam beramal, padahal demi Allah bukanlah seorang mukmin itu yang beramal sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun, tidaklah demikian, tiada yang membatasi amal seorang mukmin selain maut."

Meskipun bulan ketaatan dan ibadah serta musimnya kebaikan telah meninggalkan kita, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala menyediakan untuk para mukmin dan muslim bermacam ketaatan dan ibadah sepanjang tahun diantaranya:

Puasa enam hari di bulan Syawwal. Diriwayatkan dari Abu Ayub Al-Anshari, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka seolah-olah ia telah berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim).

Puasa Ayyamul Bidh (3 hari pada pertengahan bulan), puasa Arafah dan puasa senin-kamis.

Shalat malam dan shalat witir.

Menjaga shalat sunnat rawatib yang 12 rakaat: empat rakaat sebelum dhuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib dan dua setelah isya, dua rakaat sebelum fajar (Subuh).

Membaca Al-Qur'an dan mengusahakan rutin tiap hari.

Bergegas dalam segala bentuk kebaikan dan ketaatan.

Bersikap merendah dan tidak congkak, serta berdoa kepada Allah agar menghidupkan dan mematikan kita dalam keadaan Islam.

Dengan demikian Idul Fitri bukanlah hari untuk tenggelam dalam kesenangan yang sia-sia dan melalaikan, namun merupakan hari ibadah dan hari bersyukur.

Seorang mukmin hendaknya selalu giat dan aktif dalam melakukan berbagai macam ibadah dengan tanpa mengenal batas waktu. Diantara ibadah yang dicintai Allah dan diridhainya ialah: Silahturahmi, mengunjungi sanak sudara/kerabat, menjauhi segala bentuk permusuhan dan saling dengki, menyantuni orang miskin dan anak yatim, serta menghibur dan membahagiakan fuqara.

Marilah kita renungi perputaran hari demi hari, betapa cepatnya berlalu, mari bergegas untuk bertaubat dan hanya bersandar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pastikan Anda selalu dalam ketaatan dan membiasakan dengan berbagai bentuk ibadah, karena kehidupan dunia adalah hari-hari yang begitu pendek.

Ketahuilah bahwa seorang mukmin hendaknya janganlah merasa tenang sebelum menginjakkan telapak kakinya di Surga. Bersegeralah menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dan jauhkanlah diri Anda dari api neraka yang bergejolak yang tidak dimasuki kecuali oleh orang-orang celaka. Kita selalu pegang hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Bersungguh-sungguhlah dan mendekatlah (kepada Allah), dan ketahuilah bahwasanya tiadalah salah seorang diantara kamu itu masuk Surga disebabkan karena amalnya, dan sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun sedikit" (Muttafaq 'alaih).

(Disadur dari "Al-'Ied, 'ibadah wa syukr" terbitan Darul Qasim, Riyadh oleh Khalif Ibnu Djawari).
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatdurus22&id=16

Tuesday, May 25, 2010

~ Hukum Shalat Tarawih ~


Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari
تَرْوِيْحَةٌ
, yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan
تَرْوِيْحَةٌ
pada bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294). Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)

Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah Ta'ala ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah Ta'ala, niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi rahimahullah Ta'ala menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah Ta'ala memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?

Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta'ala, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).

Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).

Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallamtidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)

• Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para shahabat yang shalat bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan. (Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)

2. Hadits Abu Dzar radhiallahu 'anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)

Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah Ta'ala dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380). Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni, 2/606)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat (tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)

3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu dan para shahabat lainnya (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin Al-Khaththab melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).

4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)

5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat. (Fathul Bari, 4/297)

Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit , sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)

Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), karena kekhawatiran beliau akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) (Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya beliau maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.

Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)

Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:

مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ...

“Tidaklah (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)

‘Aisyah radhiallahu 'anha dalam hadits di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11 rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ta'ala berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesungguhnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu 'alaihi wa sallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)

2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“’Umar bin Al-Khaththab memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits) ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah Ta'ala berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan perintah dari ‘Umar , dan (perintah itu) sesuai dengannya radhiallahu 'anhu karena beliau termasuk manusia yang paling bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar akan berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul Mumti’)

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:

كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)

Al-Imam Al-Baihaqi berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar ”. (Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).

2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ

“Sesungguhnya Nabi n shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah Ta'ala berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)

Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153) dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiallahu 'anha: “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan Al-Irwa, 2/191 no. 445)

Sebagai penutup kami mengingatkan tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu 'alaihi wa sallam).
Wallohu a’lam
Penulis : Al-Ustadz Hariyadi, Lc.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=301

Sunday, May 23, 2010

~ Kemungkaran Yang Bisa Terjadi Pada Hari Raya Iedul Fitri ~


Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[1].

Diantara Kemungkaran Itu Adalah :

Pertama : Berhias Dengan Mencukur Jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[2] yang telah dikenal.

Kedua : Berjabat Tangan Dengan Wanita Yang Bukan Mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]

Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (Meniru) Orang-Orang Kafir Dan Orang-Orang Barat Dalam Berpakaian Dan Mendengarkan Alat-Alat Musik Serta Perbuatan Mungkar Lainnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” [3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
“Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : ‘Kembalilah kepada kami besok!’ Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi hingga hari kiamat” [4]

Keempat : Masuk Dan Bercengkerama Dengan Wanita-Wanita Yang Bukan Mahram.

Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau.
“Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita”. Maka berkata salah seorang pria Anshar : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu” Beliau berkata : “Al-Hamwu adalah maut” [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]

Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan “Al-Hamwu”
“Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa’ adalah kerabat dekat suami seperti ayah[5], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka… Dan sabda beliau : “Al-Hamwu adalah maut” maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan “Al-Hamwu adalah maut” merupakan do’a kejelekan…” ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-Wanita Yang Bertabarruj (Berdandan Memamerkan Kecantikan) Kemudian Keluar Ke Pasar-Pasar Atau Tempat Lainnya.
Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari’at Allah. Allah Ta’ala berfirman :

“Artinya : Hendaklah mereka 9wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” [Al-Ahzab : 33]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : …….. dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[6], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[7]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau surga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian” [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]

Keenam : Mengkhususkan Ziarah Kubur Pada Hari Raya :
Membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros Dalam Membelanjakan Harta Yang Tidak Ada Manfaatnya Dan Tidak Ada Kebaikan Padanya.
Allah berfirman.
“Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [Al-An'am : 141]

“Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan” [Al-Isra : 26-27]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang … dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan” [8]

Kedelapan : Kebanyakan Manusia Meninggalkan Shalat Berjama’ah Di Masjid Tanpa Alasan Syar’i Atau Mengerjakan Shalat Ied Tetapi Tidak Shalat Lima Waktu.
Demi Allah, Sesungguhnya Ini Adalah Salah Satu Bencana Yang Amat Besar.

Kesembilan : Berdatangannya Sebagian Besar Orang-Orang Awam Ke Kuburan Setelah Fajar Hari Raya ; Mereka meninggalkan shalat Ied, dirancukan dengan bid’ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]
Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[9] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.

Kesepuluh : Tidak Adanya Kasih Sayang Terhadap Fakir Miskin.Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya” [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]

Kesebelas : Bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah.
Bid’ah itu banyak sekali[10]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
“Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati” [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]

Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh: Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al-Atsari

[Disalin dari Kitab Ahkaamu Al-Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali Abdul Hamid, Al-Atsari, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein]
sumber: al-manhaj.or.id

Saturday, May 22, 2010

~ Ucapan pada Hari Raya ~


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ al Fatawa (XXIV/253), berkata: “Adapun ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Ied :
Taqabbalallahu minnaa wa minkum, dan Ahaalallahu ‘alaika, dan sejenisnya
“Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian”

Ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.

Tidak ragu lagi bahwa ucapan selamat ini merupakan akhlak yang terpuji dan merupakan fenomena sosial yang baik di kalangan kaum muslimin. Ucapan selamat ini memiliki pengaruh yang baik dalam memperkuat hubungan dan persaudaraan serta menyebarkan jiwa kasih sayang di antara sesama kaum muslimin. Minimal, mengenai hal itu bisa di katakan: “Balaslah ucapan selamat pada orang yang mengucapkan selamat kepadamu, dan diamlah jika ia diam”.

Lihat: Shahih Fiqh Sunnah 3/353.
http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/09/19/mengucapkan-selamat-tahniah-pada-hari-ied/

~ Marhaban Ya Ramadhan ~


Ramadhan, … Bulan yang dirindukan telah tiba, ahlan wa sahlan, marhaban bika ya Ramadhan. Ramadhan adalah bulan nan penuh barakah, indah penuh maghfirah, yang di dalamnya Allah turunkan kitab mulia, petunjuk dan cahaya, di dalamnya Allah memberikan kemenangan besar bagi hambaNya pada saat perang Badr. Untuk itu amal shaleh yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaikan derasnya hembusan angin dan air yang mengalir. Para sahabat dan salafussaleh senantiasa berlomba-lomba meraih keridlaan Allah dengan meraih kebaikan dan amal ibadah pada bulan tersebut. Akan tetapi yang sangat memilukan hati adalah kondisi umat Islam pada masa kini yang mulai lemah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

Keutamaan bulan Ramadhan Rasulullah bersabda: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah mewajibkan kepadamu untuk berpuasa, pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat, juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikan maka dia tidak memperoleh apa-apa" (Ahmad dan An-Nasa'i).

Diwajibkan puasa Ramadhan
Allah berfirman, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (QS. 2: 183).

Definisi Puasa
Shaum (puasa) adalah menahan diri dari makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat dan dilaksanakan pada waktu khusus dan dari orang-orang yang khusus pula.

Rukun Puasa
Niat sebelum terbit fajar.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum (terbit fajar) Maka tidaklah sah puasanya". (Ahmad dan Abu Dawud).

Menghindari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti: makan, minum, bersetubuh, dan lain-lain.

Memenuhi syarat puasa: a. Muslim, b. Berusia baligh (dewasa), c. Berakal, d. Mampu untuk berpuasa, e. Tidak terhalang oleh sesuatu, seperti: haid, nifas, sakit, dan lain-lain.

Hal-hal yang membatalkan puasa :
Makan dan minum dengan sengaja, jika dilakukan karena lupa maka puasanya tidak batal

Bersenggama

Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan vitamin yang mengenyangkan.

Mengeluarkan mani baik karena onani, bersentuhan, ciuman, atau sebab lainnya dengan sengaja

Muntah dengan sengaja

Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan
Dibawakan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika aku sedang tidur tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab: "Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: "Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Shalat Tarawih
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)". (Adzariyat: 17-18).
Sanjungan dan pujian dari Allah bagi yang senantiasa mendirikan shalat di malam hari.

Hukum dan Bilangan Shalat Tarawih
Shalat tarawih hukumnya sunnah, lebih utama berjama'ah, demikian pendapat masyhur yang dilaksanakan oleh para sahabat, ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 11 (sebelas), atau 13 (tiga belas) raka'at. Akan tetapi lebih baik apabila shalat tarawih dilakukan dengan 11 (sebe-las) raka'at, dikarenakan beberapa hal:

Para sahabat Nabi shalat dengan 11 raka'at, padahal mereka adalah generasi terbaik yang lebih mengetahui tentang Al Qur'an dan As Sunnah. Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa'id bin Yazid, ia berkata: "Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan 11 raka'at" (HR Malik dalam Muwaththa: 1/115).

Adanya hadits shahih 'Aisyah berkata: "Tidaklah Rasulullah shalat (sunnah) pada bulan Ramadhan dan tidak pula (sunnah) lainnya lebih dari sebelas raka'at" (HR Bukhari dan Muslim).

Jabir bin Abdullah berkata: "Sesungguhnya Nabi menghidupkan malam Ramadhan (lalu) shalat dengan delapan raka'at lalu witir" (HR Ibnu Hibban).

Dalam shalat diharuskan untuk khusyu', tuma'ninah, dihayati, serta membacanya dengan tartil. Akan tetapi fenomena yang ada pada sebagian kaum muslimin adalah tanpa tuma'-ninah, tergesa-gesa, tidak tartil dalam melaksanakan shalat tarawih, semua ini tidak tercapai dikarenakan jumlah yang terlalu banyak (23 raka'at).

Derajat hadits shalat tarawih 23 raka'at, adalah dho'if (lemah) sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam beramal.
Mereka berdasar pada hadits: "Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Nabi shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka'at (tidak termasuk witir)" (HR Ibnu Abi Syai-bah, Thabrani, Baihaqi, dan lain-lain).
Dalam riwayat lain ada tambahan: "Dan (Nabi) witir (setelah shalat dua puluh raka'at)"

Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah yang namanya Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas.

Imam Baihaqi berkata: "Abu Syai-bah menyendiri dengannya dan dia itu lemah"

Imam Al Haitsami berkata: "Sesungguhnnya Abu Syaibah ini lemah" (Kitab Majmauz Zawaid 3/172)

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Isnadnya dhoif" (Kitab Al Fath - Syarah Bukhari).
Al Hafidz Zaila'i telah melemahkan isnadnya (Kitab Nashbur Rayah 2/153)

Imam Shan'ani berkata: "Tidak ada yang sah dari Nabi shalat di bulan Ramadhan dengan dua puluh raka'at" (Kitab Subulus Salam).

Syaikh Al Albany mengatakan: Maudhu' (hadits palsu) (Kitab Silsilah Hadits Dhoif wal Maudhu' & Irwaul Ghalil)

Keterangan Ulama Ahlu Hadits tentang hadits 23 raka'at:
Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya dan Ad Daruquthni berkata: "(Derajatnya) lemah"

Imam At Tirmidzi: Hadits Mungkar
Imam Bukhari: Ulama ahli hadits diam tentangnya
Imam Nasa'i: Matrukul hadits (hadits-nya ditinggalkan)
Imam Abu Hatim: Hadits lemah, ulama diam tentangnya dan ahli hadits meninggalkan haditsnya.

Kesimpulan :
Riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khaththab, bahwa para sahabat shalat tarawih 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih. Bahkan dari riwayat yang shahih kita ketahui bahwa Umar bin Khaththab mengerjakan shalat tarawih dengan 11 raka'at sesuai dengan contoh Rasulullah shalallahu 'alahi wa salam.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Yazid bin Ruman: "Adalah manusia pada zaman Umar bin Khaththab mereka shalat (Tarawih) di bulan Ramadhan 23 raka'at" (HR Malik).

Keterangan:
Hadits ini tidak sah sebab terputus sanadnya, karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu (tidak sezaman) dengan Umar bin Khaththab, sanadnya terputus, dalam ilmu musthalah hadits termasuk hadits dho'if (lemah).Hadits di atas bertentangan dengan riwayat yang shahih.

Setelah kita mengetahui keshahihan dasar hukum dari hadits-hadits yang shahih maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk mengikuti yang haq dari Al Qur'an dan As sunnah.

Fatwa Puasa
Fatwa ini dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang beranggotakan ulama-ulama besar Saudi Arabia.

1. Memakai pasta gigi Tidak mengapa memakai pasta gigi pada siang hari di bulan Ramadhan sambil menjaga diri agar tidak tertelan, seperti halnya disyariat-kannya bagi orang yang berpuasa memakai siwak pada waktu pagi dan petang karena keumuman hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Siwak itu dapat membersihkan mulut dan menjadikan keridhaan Allah" (HR An-Nasai) dan Ibnu Khuzaimah)

2. Mendengar adzan fajar (shubuh) tetapi tetap melanjutkan makan dan minum.
Diwajibkan bagi orang mukmin untuk menghentikan makan dan minum atau sesuatu yang membatalkan puasanya ketika jelas tampak terbit fajar, apabila sedang melakukan puasa wajib seperti puasa Ramadhan dan puasa nadzar. Allah berfirman, artinya: "Makan dan minumlah kalian sehingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam hari". (Al Baqarah: 187). Yaitu jika mendengar adzan dan dia adzan Shubuh.

3. Seseorang yang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka hendaklah dia berbuka dan memberikan makanan kepada orang mukmin yang miskin (fidyah) setiap hari untuk berbuka.

4. Shalat merupakan salah satu rukun dari rukun Islam dan merupakan penguat dari rukun Islam yang lainnya setelah Syahadat yang hukumnya fardhu 'ain, meninggalkan karena menentang keberadaannya atau membenci dan malas berarti kufur. Adapun orang yang melaksanakan puasa dan shalat pada waktu bulan Ramadhan saja maka dia telah menipu Allah, mereka itulah seburuk-buruknya manusia karena mereka tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan saja, maka puasanya tidak sah apabila dia meninggalkan shalat pada bulan lainnya. (Abu Sufyan Sudirman).
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=138

Thursday, May 20, 2010

~ Hadits - Bermaafan Sebelum Ramadhan ~


Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah tradisi yang banyak dilestarikan oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis da’wah yang beramal tanpa didasari ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan. Ya, saya katakan demikian karena tradisi ini pun pertama kali saya kenal dari para aktifis da’wah kampus dahulu, dan ketika itu saya amati banyak masyarakat awam malah tidak tahu tradisi ini. Dengan kata lain, bisa jadi tradisi ini disebarluaskan oleh mereka para aktifis da’wah yang kurang mengilmu apa yang mereka da’wahkan bukan disebarluaskan oleh masyarakat awam. Dan perlu diketahui, bahwa tradisi ini tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits yang terjemahannya sebagai berikut:

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.


Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد

“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.

Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).

Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Wallahu’alam.

http://kangaswad.wordpress.com/2009/08/16/bermaafan-sebelum-ramadhan/

Monday, May 17, 2010

~ Qiyam Ramadhan ~


Qiyam Ramadhan disebut juga shalat Tarawih yang biasa dilaksanakan oleh kaum muslimin di bulan Ramadhan. Shalat Tarawih termasuk ibadah terbesar yang dapat dimanfaatkan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini.

Al-Hafizh Ibnu Rajab menjelaskan: “Ketahuilah, bahwa seorang mukmin itu seyogyanya menggabungkan antara dua bentuk jihad di bulan Ramadhan pada dirinya sendiri. Jihad di siang hari dengan melakukan shaum, dan jihad di malam hari dengan melakukan shalat malam. Barangsiapa melakukan dua bentuk jihad tersebut sekaligus, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang tidak ada habis-habisnya.”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Shalat malam di bulan Ramadhan memiliki keutamaan dan keistimewaan dibandingkan dengan shalat malam di waktu lain, berdasarkan sabda Nabi,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa shalat malam di bulan Ramadhan atas dasar iman dan mengharapkan pahala,maka niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Shalat malam di bulan Ramadhan meliputi shalat di awal malam atau di akhir malam. Dengan dasar itu, maka shalat Tarawih itu termasuk Qiyam Ramadhan, sehingga harus dilakukan dengan giat dan diperhatikan, serta mengharapkan pahala dan balasan dari Allah. Karena jumlahnya hanya beberapa malam saja yang pasti akan dimanfaatkan oleh seorang mukmin yang berakal sebelum terlambat.

Shalat Tarawih disyariatkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah di masjid. Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah yang pertama kali menetapkan sunnah berjama’ah untuk shalat Tarawih di masjid. Namun kemudian beliau meninggalkan kebiasaan itu kerana khawatir akan dianggap wajib bagi umatnya. Saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, ajaran syariat sudah baku, kekhawatiran itu sudah tidak ada lagi, maka berlakulah syariat shalat Tarawih itu secara berjama’ah.

Selayaknya bagi kaum muslimin memperhatikan shalat ini dan melaksanakannya secara sempurna, bersabar kerana Allah Ta’ala dalam menjalankannya, Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Tidak selayaknya seorang lelaki meninggalkan shalat Tarawih berjama’ah, agar ia bisa mendapatkan pahala dan ganjarannya. Jangan keluar sebelum Imam selsesai shalat atau sebelum shalat witir agar ia mendapatkan pahala shalat semalam suntuk.”

Kaum wanita juga boleh menghadiir shalat Tarawih di masjid apabila tidak dikhawatirkan terjadi fitnah atau bencana terhadap diri mereka atau kerana kehadiran mereka. Namun ia wajib ketika datang ke masjid tidak dengan berdandan dan tidak mengenakan wewangian, jangan bersuara keras dan jangan memperlihatkan perhiasannya.

Kaum wanita sunnahnya harus mengambil shaff paling belakang, jauh dari kaum lelaki. Shaff pertama bagi wanita adalah bagian akhir shaff bagi kaum lelaki, kebalikan dengan kaum lelaki. Mereka harus kelaur dari masjid saat imam mengucapkan salam secara langsung, jangan terlambat, kecuali kerana alasan yang dibenarfkan syariat, berdasarkan hadits Ummu Salamah bahwa ia menceritakan:

“Apabila Nabi sudah mengucapkan salam ketika shalat, para wanita segera bangkit tepat ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengakhiri salamnya. Beliau sendiri duduk sejenak di tempat shalatnya sebelum berdiri.” Ummu Salamah menjelaskan: “Kami berpandangan, wallahu alam bahwa itu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam agar kaum wanita sudah bubar sebelum terlihat oleh kaum lelaki.” (HR al-Bukhari)

Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada sanak keluarga beliau dan kepada para Sahabat beliau.[NbI]

(dipetik dari buku 'Dibalik keheningan Sholat Malam' oleh Tim Pengkajian Darul Wathan, Penerbit At-tibyan)

Saturday, May 15, 2010

~ Seputar fiqh kewanitaan di bulan Ramadhan 2/2 ~


I. HUKUM-HUKUM YANG BERHUBUNGAN DENGAN HAL-HAL YANG MERUSAK PUASA.

1. Dibolehkan bagi wanita yang berpuasa mencicipi makanan untuk mengetahui rasanya dan mengetahui panasnya untuk disuapkan pada bayinya, selama makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Tidak mengapa baginya untuk mencicipi cuka atau sesuatu (makanan) selama tidak masuk kedalam kerongkongannya, dan dia dalam keadaan berpuasa”. Diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhary secara mu’allaq. (Fathul Bary 4/154 ) dan sanadnya disambungkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Musnadnya (3/47).

2. Wanita yang sedang berpuasa diperbolehkan mencium suaminya atau untuk dicium oleh suaminya, jika keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mencium istrinya dalam keadaan berpuasa dan menyentuh (tanpa hubungan intim) dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menguasai diri (hajat) nya.Diriwayatkan oleh Imam Bukhary (4/131) dan Muslim (1106).

Berkata Syaikh ‘Abdullah Al-Bassam: “Berkata penulis kitab Al-Iqna’ (karya Ibnu Muflih Al-Hambaly-ed.) : Makruh hukumnya mencium karena syahwat semata, dan jika dia memperkirakan (menduga) akan keluarnya mani, maka mencium diharamkan atasnya tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat dikalangan ‘ulama).

3. Jika dia dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani berarti dia telah berbuka (batal puasanya) berdasarkan madzhab Imam yang empat, bahkan Ibnul Mundzir dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah menukil adanya ijma’ ‘ulama muslim tentang hal tersebut.

4. Jika ciuman itu menyebabkan keluarnya madzi, maka tidaklah membatalkan/merusak puasanya.

5. Jika dua orang wanita saling bersentuhan (bergesekan) menyebabkan keluarnya mani, maka puasa keduanya menjadi rusak/batal, wajib untuk di-qodho’ (diganti) dan tidak perlu kaffarah.

6. Jika seorang wanita (yang sedang berpuasa Ramadhan) disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka tidak wajib atasnya untuk membayar kaffarah.

II. SHALAT TARAWIH (QIYAMU RAMADHAN)

Shalat tarawih secara berjama’ah telah disyari’atkan di dalam ajaran agama Islam dan meliputi laki-laki maupun wanita. Maka disyari’atkan pula bagi wanita untuk menghadiri shalat jama’ah berdasarkan hadits Abu Dzar : “Kami telah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan beliau tidak shalat mengimami kami sedikitpun sejak awal bulan, hingga tinggal tujuh hari (dari bulan Ramadhan), beliau shalat mengimami kami (pada shalat lail/tarawih) sampai lewat sepertiga malam, ketika malam ke-6 dari akhir Ramadhan beliau tidak shalat bersama kami, ketika malam ke-5 beliau mengimami kami sampai lewat pertengahan malam. Maka aku (Abu Dzar) berkata : “Wahai Rasulullah seandainya engkau menjadikan shalat (tarawih) pada malam ini sebagai nafilah (sunnah)”, maka Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya seseorang, jika dia shalat bersama Imam sampai dia (Imam itu) selesai telah dituliskan baginya qiyam (shalat) sepanjang malam itu”. Maka ketika tinggal 4 malam beliau tidak shalat (bersama kami) dan ketika tinggal 3 malam beliau mengumpulkan anggota keluarganya dan istri-istrinya dan orang-orang, maka shalatlah Nabi mengimami kami sampai-sampai kami takut tidak dapat (kelewatan) Al-Falah, berkata seseorang apa itu Al-Falah ? Berkata Abu Dzar : As-Sahur (makan sahur), kemudian beliau tidak (keluar lagi) shalat mengimami kami pada hari-hari yang sisa dari bulan Ramadhan”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits ini adalah ketika Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam mengumpulkan istri-istri dan keluarganya untuk shalat lail.

Wanita yang akan hadir di mesjid untuk shalat tarawih berjama’ah disyaratkan baginya agar aman dari fitnah ; dan wajib baginya ketika sedang ke mesjid untuk menjaga hijabnya, dalam keadaan tertutup, tidak berhias, tidak memakai minyak wangi, tidak mengeraskan suaranya dan tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya, seperti baju luar dan jilbabnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala :
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (Q.S. An-Nur : 31).

Disunnahkan bagi wanita untuk menjauh dari laki-laki dengan cara memulai shof mereka (para wanita) dari belakang, sebab Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat Muslim bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُها وَشَرُّهَا آخِرُها وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُها وَشَرُّها أَوَّلُها.

“Sebaik-baik shofnya laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang, dan sebaik-baik shofnya wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan”.

Dan dianjurkan bagi wanita untuk segera keluar dari mesjid begitu selesai salam, dan tidak sampai terlambat kecuali kalau ada udzur. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika beliau selesai dari salamnya beliau diam sejenak ditempatnya sebelum beliau berdiri, saya (Ummu Salamah) pandang/menilai -Wallahu A’lam- bahwa hal tersebut (dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam) agar supaya para wanita memiliki kesempatan untuk meninggalkan tempat (pulang) sebelum mereka dijumpai oleh para lelaki. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary.

Dianjurkan untuk tidak membawa anak kecil yang belum bisa membedakan dan berfikir sebab hal ini biasanya akan mengganggu orang lain.

III. I’TIKAF

1. Disyari’atkannya i’tikaf bagi wanita.
I’tikaf disyari’atkan (baca : disunnahkan) juga bagi wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (no.2026) dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah subhanahu wa ta'ala mewafatkan beliau, kemudian setelahnya (setelah beliau wafat) istri-istrinya melakukan I’tikaf”. Dan sebagaimana juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary (Fathul Bary 4/289) dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Seorang wanita yang sedang menjalani istihadhah dari istri-istri Nabi (dalam sebuah riwayat dia adalah Ummu salamah) melakukan I’tikaf bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia (kadang-kadang masih) melihat warna merah dan kuning (dari darah istihadhahnya) bahkan kadang-kadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.

2. Disyari’atkan bagi wanita yang hendak melakukan I’tikaf adanya izin dari suaminya atau walinya dan aman dari fitnah dan aman dari bersunyi-sunyian dengan laki-laki. Karena banyaknya dalil yang menunjukkan hal ini dan karena adanya kaidah fiqh :

دَرْءُ الْمَفْسَدَةِ مَقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصْلَحَةِ

“Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kebaikan”.

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyebut-nyebut bahwa beliau akan melakukan I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, lalu ‘Aisyah meminta izin, maka beliau mengizinkan, kemudian Hafshof meminta ‘Aisyah untuk meminta izinkan baginya (pada Rasulullah) maka ‘Aisyah melakukannya, maka ketika Zainab binti Jahsyin melihat hal itu dia memerintahkan untuk dibangunkan bangunan (kemah di dalam mesjid), maka dibangunkan baginya. Kata ‘Aisyah : “Dan adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam jika selesai shalat beliau beranjak menuju ke bangunannya (kemah), maka (ketika itu) beliau melihat bangunan-bangunan. Beliau bersabda : “Apa ini ?”. Maka dijawab (ini adalah) bangunan-bangunannya ‘Aisyah, Hafshoh dan Zainab, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini ? saya tidak (jadi) melakukan I’tikaf”. Maka beliau kembali dan tatkala telah selesai berpuasa beliau melakukan I’tikaf 10 hari di bulan Syawal”.

Syahid (sisi pendalilan) dari hadits di atas adalah bahwa para istri-istri Nabi shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam meminta izin pada beliau untuk melakukan I’tikaf.

3. Berkata Imam An-Nawawy (Al-Majmu’ 6/526) : “Wanita yang sedang I’tikaf sama hukumnya dengan laki-laki mu’takif, diharamkan baginya berhubungan intim dan menyentuh dengan syahwat dan dalam rusaknya I’tikaf itu dengan keduanya (bersetubuh dan bersentuhan dengan syahwat) dan dibedakan antara wanita yang tahu, ingat dan atas kemauan sendiri dengan wanita yang lupa, tidak tahu dan terpaksa, sebagaimana telah lalu. Wallahu A’lam”.

4. Diperbolehkan bagi wanita haidh untuk menyisir rambut suaminya yang sedang I’tikaf. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menjulurkan kepalanya kepadaku sementara beliau tinggal di mesjid, maka aku menyisirnya dalam keadaan hamil”. Diriwayatkan oleh Imam Bukhary, hadits no.2029.

5. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk melakukan I’tikaf. Sebagaimana hadits yang telah lalu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary yaitu hadits ‘Aisyah tentang I’tikafnya salah seorang dari istri Rasulullah yang sedang mengalami istihadhah.

6. Diperbolehkan bagi wanita untuk mengunjungi suaminya yang sedang I’tikaf. ‘Ali bin Al-Husain rahimahullah ta’ala berkata bahwa Shofiyah istri Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan padanya bahwa dia datang kepada Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam untuk menjenguknya di mesjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia (Shofiyah) berbincang-bincang dengan Nabi beberapa saat lamanya kemudian dia bangkit untuk kembali (ke kamar/rumahnya), maka bangkitlah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersamanya untuk mengantarkannya sampai ketika tiba di pintu mesjid (yaitu) pintu Ummu Salamah lewatlah 2 orang dari kaum Anshor, keduanya memberi salam kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka berkata Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam : “Pelan-pelanlah kalian (tenanglah), dia itu adalah Shofiyah binti Huyai”, maka keduanya berkata : “Maha suci Allah, wahai Rasulullah” dan keduanya merasa bersalah besar, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya syaithan itu bisa masuk ke anak cucu adam ke dalam darahnya dan aku tahu dia (syaithan) akan melemparkan ke dalam hati kalian berdua sesuatu”.

7. Juga di perbolehkan untuk melamar seorang wanita yang sedang I’tikaf bahkan boleh melakukan aqad nikah untuknya, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang.

8. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedang dia dalam keadaan I’tikaf, dia berhak untuk meneruskan dan menggenapkan I’tikafnya.

9. Seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, ketika dia sedang beri’tikaf, maka sebaiknya dia keluar dari I’tikafnya dan menyelesaikan masa ‘iddahnya di rumah suaminya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :

وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Dan bertaqwalah kalian pada Allah subhanahu wa ta'ala Rabb kalian dan janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri kalian) dari rumah-rumah mereka dan janganlah sekali-kali mereka keluar, kecuali kalau mereka melakukan perbuatan keji yang jelas”. (Q.S. Ath-Thalaaq : 1).

Demikianlah hukum-hukum yang khusus bagi wanita yang berhubungan dengan bulan Ramadhan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Abu 'Abdillah Mustamin Musaruddin. Judul asli "Hukum-Hukum yang berkaitan dengan wanita di bulan Ramadhan". Url sumber http://an-nashihah.com/index.php?)
http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1344